EKONOMI BIRU

Arah Kebijakan Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan 2021 - 2024 Berbasis EKONOMI BIRU

ZI WBK? Yes, We CAN

LRMPHP siap meneruskan pembangunan Zona Integritas menuju satuan kerja berpredikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) yang telah dimulai sejak tahun 2021. ZI WBK? Yes, We CAN.

LRMPHP ber-ZONA INTEGRITAS

Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan siap menerapkan Zona Integritas menuju satuan kerja berpredikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) 2021.

Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan

LRMPHP sebagai UPT Badan Riset dan SDM KP melaksanakan riset mekanisasi pengolahan hasil perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 81/2020

Tugas Pokok dan Fungsi

Melakukan tugas penelitian dan pengembangan strategis bidang mekanisasi proses hasil perikanan di bidang uji coba dan peningkatan skala teknologi pengolahan, serta rancang bangun alat dan mesin untuk peningkatan efisiensi penanganan dan pengolahan hasil perikanan

Produk Hasil Rancang Bangun LRMPHP

Lebih dari 30 peralatan hasil rancang bangun LRMPHP telah dihasilkan selama kurun waktu 2012-2021

Kerjasama Riset

Bahu membahu untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan dengan berlandaskan Ekonomi Biru

Sumber Daya Manusia

LRMPHP saat ini didukung oleh Sumber Daya Manusia sebanyak 20 orang dengan latar belakang sains dan engineering.

Kanal Pengelolaan Informasi LRMPHP

Diagram pengelolaan kanal informasi LRMPHP

Tampilkan postingan dengan label Publikasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Publikasi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Juni 2018

Desain Bilah Pisau Bowl Cutter dan Lama Pengadonan pada Pembuatan Nugget Ikan

Upaya untuk meningkatkan nilai tambah dan mengoptimalkan pemanfaatan produksi perikanan adalah pengembangan produk bernilai tambah. Beberapa produk yang telah dikembangkan menggunakan bahan baku ikan di antaranya bakso, otak-otak, sosis dan nugget ikan. Selain meningkatkan nilai tambah, produk olahan ikan tersebut sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang menuntut makanan cepat saji serta mengandung cukup gizi. Jadwal yang padat dan gaya hidup masyarakat yang sibuk menuntut seseorang untuk dapat makan dengan cepat. Selain cepat, kebutuhan makanan cepat saji juga harus memenuhi standar gizi dan kesehatan. Salah satu makanan cepat saji dari pengolahan produk perikanan adalah nugget ikan. Produk olahan hasil perikanan tersebut menggunakan lumatan daging ikan dan atau surimi minimum 30 % dicampur tepung dan bahan lainnya, dibaluri dengan tepung pengikat, dimasukkan ke dalam adonan butter mix kemudian dilapisi dengan tepung roti dan dipanaskan.

Proses pembuatan nugget ikan dilakukan dengan menggiling daging ikan kemudian mencampur dengan bahan lainnya seperti tepung dan bumbu sampai dihasilkan adonan yang homogen. Setelah homogen adonan dicetak kemudian dikukus selama kurang lebih 10 menit, dilapisi dengan larutan buttermix dan breadcrumbs selanjutnya digoreng. Proses pembuatan nugget ikan skala UKM dilakukan secara manual dan menggunakan peralatan sederhana. Peralatan yang diperlukan dalam proses pembuatan nugget ikan di antaranya mesin pengiling daging, mesin pengadon dan alat pengukus. Mesin pengadon untuk pembuatan nugget yang biasa digunakan adalah bowl cutter. Fungsi utama dari bowl cutter adalah melumatkan daging ikan serta mengaduk campuran adonan untuk menghasilkan adonan nugget ikan yang homogen.

Bowl cutter yang ada di pasaran dapat digunakan untuk mencincang daging dan sayuran serta dapat pula digunakan untuk membuat adonan bakso, sosis maupun nugget. Komponen utama bowl cutter adalah bilah pisau dan motor penggerak. Bilah pisau berfungsi untuk mencacah daging sedangkan motor penggerak berfungsi untuk menggerakkan mangkuk dan bilah pisau secara bersamaan. Bentuk dan jumlah bilah pisau bowl cutter tersebut didesain umumnya untuk berbagai olahan dan berbagai jenis adonan. Bentuk dan jumlah bilah pisau yang bervariasi tentunya akan menghasilkan mutu adonan dan konsumsi energi yang beragam. 

Penggunaan bowl cutter dalam pengolahan nugget ikan di beberapa UKM di Gunungkidul menunjukkan beberapa kendala diantaranya pencampuran adonan membutuhkan waktu yang relatif lama dan kualitas adonan kurang homogen. Jumlah dan bentuk bilah pisau serta lamanya proses pengadonan yang dilakukan dalam pengolahan nugget ikan di beberapa UKM sangat bervariasi. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas adonan nugget serta biaya operasional dan waktu pengadonan menjadi hal penting untuk diketahui. Bowl cutter yang biasa digunakan UKM menggunakan motor listrik dengan daya berkisar antara 1100 sampai 1900 Watt. Kebutuhan listrik tersebut cukup besar untuk skala UKM, sehingga pengadonan yang dilakukan sesingkat mungkin dengan mempertimbangkan kualitas nugget dan dapat menghemat biaya operasional.

LRMPHP telah mengembangkan beberapa bentuk dan susunan bilah pisau Bowl cutter salah satunya dengan 3 buah bilah pisau melengkung (Gambar 1.).

Gambar 1. Desain bowl cutter dengan 3 buah bilah pisau melengkung

Bahan yang digunakan untuk membuat bilah pisau bowl cutter adalah plat SS 304 tebal 2 mm dan batang teflon berdiameter 11 cm. Desain bilah pisau melengkung mempunyai bentuk ± 3/8 lingkaran dengan panjang 80 mm dari sisi luar dudukan. Lebar bilah pisau sebesar 22 mm dengan tebal 3 mm. Radius putar bilah pisau dari pusat poros sebesar 130 mm. Kelengkungan bilah pisau mempunyai radius 50 mm dengan sisi tajamnya terletak pada lengkung bagian luar. Sudut ketajaman sekitar 120 pada salah satu sisi bilah pisau. 

Uji kinerja alat dilakukan menggunakan volume bowl sebesar 10 L dengan pesifikasi mesin 1700 W dengan komponen utama adalah motor listrik, pupy, belt, poros dan bowl. Kecepatan putar bilah pisau dan bowl masing-masing sebesar 1535 dan 29 rpm. Selama proses pengadonan kebutuhan rata-rata arus listrik sebesar 4,2 A pada tegangan 220 Volt dengan kebutuhan daya berkisar 895 - 928 Watt.

Gambar 2. Uji kinerja bowl cutter

Hasil uji kinerja terhadap bowl cutter menunjukkan bahwa dengan desain 3 bilah pisau melengkung dengan lama pengadonan 8 menit kebutuhan biaya operasional listrik sebesar Rp. 2.700/100 kg adonan, dengan mutu nugget sesuai standar SNI. Nugget yang dihasilkan pada kondisi tersebut mempunyai kadar air 54,2 %, tektur sebesar 12,6 N, susut masak 16,7 %, WHC 32,9 % dan nilai organoleptik lebih dari 7. 

Sumber : Jurnal Pasca Panen dan Bioteknologi KP, Vol 11 No. 1 (2016)

Jumat, 11 Mei 2018

Peti Ikan Segar Berpendingin Roda Tiga untuk Pedagang Ikan Keliling

Ikan merupakan produk pangan yang mudah rusak, karena proses pembusukan terjadi segera setelah ikan mati. Pembusukan ikan adalah faktor utama penyebab terjadinya penurunan mutu ikan segar. Aktivitas pembusukan secara kimiawi dan enzimatis dapat diperlambat dengan menerapkan sistem rantai dingin. Penanganan ikan segar selama transportasi dan penyimpanan sebaiknya dilakukan pada suhu di bawah 5 0C. 

Tempat penyimpanan ikan yang digunakan oleh pedagang ikan keliling umumnya menggunakan kotak stirofom yang ditambahkan es sebagai pendingin kemudian diletakkan di atas sepeda motor. Penggunaan bongkahan es yang besar dan kasar serta tajam dapat menyebabkan kerusakan fisik ikan akibat gesekan yang terjadi antara es dengan permukaan ikan selama kegiatan transportasi. Selain itu penambahan es dapat mengurangi kapasitas peti serta menambah bobot sehingga dapat mengganggu keseimbangan berkendaraan karena kapasitas angkut sepeda motor terbatas. 

Untuk mengatasi hal itu, LRMPHP telah mengembangkan sespan berpendingin untuk pedagang ikan keliling yang mampu mempertahankan suhu dan mutu kesegaran ikan selama proses penjualan ikan eceran oleh pedagang ikan keliling. Peti berpendingin tersebut terbuat dari bahan Polyurethane berukuran 81 x 53 x 83 cm (PxLxT) yang dikonstruksikan dengan menambahkan sebuah roda pada peti pada bagian samping sebelah kiri sepeda motor (Gambar 1). Sistem pendingin mengadopsi sistem pendingin chest freezer merk Modena tipe MD 15 dengan spesifikasi kompresor Panasonic 123 Watt.

Gambar 1. Peti insulasi berpendingin roda tiga yang didesain LRMPHP

Peti insulasi berpendingin roda tiga dengan kapasitas hingga 90 kg di atas telah diuji coba oleh pedagang ikan keliling di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. Hasilnya menunjukkan bahwa peti ikan berpendingin tersebut dapat mempertahankan suhu ikan di bawah 3 0C pada saat dilakukan penjualan ikan secara eceran selama 3,8 jam. Suhu peti pada uji coba dalam kondisi kosong selama 120 menit mencapai 11,1 0C - 15,5 0C. Nilai organoleptik ikan setelah kegiatan transportasi adalah 7,1 - 7,3, sedangkan nilai TPC adalah 23 x 103 - 24 x103 koloni/g. Nilai TPC dan organoleptik ikan setelah transportasi memenuhi standar mutu ikan segar (SNI), hal ini menunjukkan bahwa peti ikan segar berpendingin dapat mempertahankan mutu ikan segar selama proses penjualan ikan secara eceran. 

Sumber : Jurnal Pasca Panen dan Bioteknologi KP, Vol 10 No. 1 (2015)

Rabu, 02 Mei 2018

Penerapan Model Neural Network Pattern Recognition Untuk Prediksi Kesegaran Ikan Tuna (Thunnus sp.)

Penentuan kesegaran ikan menjadi langkah penting dalam pengkonsumsian ikan. Perubahan mayor yang dijadikan patokan kesegaran ikan adalah warna, bau dan tekstur. Mata ikan akan berubah semakin cekung dan keruh pada ikan yang busuk selanjutnya mengeluarkan bau dan tekstur daging menjadi lunak (SNI). Perubahan fisik secara visual pada kebusukan ikan mampu diterjemahkan menjadi deretan angka dengan bantuan pengolahan citra digital. 

Penerapan pengolahan citra untuk menentukan kesegaran ikan dan bahan makanan lain telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Dutta et al (2016) melaporkan bahwa penentuan tingkat kesegaran ikan dapat dilakukan menggunakan pengolahan citra insang ikan. Menesatti et al (2010) menyebutkan bahwa citra digital ikan berbasis kamera hyperspektral bisa menjadi dasar penentu kesegaran ikan. Kelemahan dua penelitian tersebut adalah bersifat destruktif karena perlu pemotongan operculum ikan untuk memperoleh citra insang yang baik dan diperlukan kamera hyperspektral yang harganya cukup mahal. Oleh karena itu, penelitian terkait penerapan model neural network pattern regognition yang bersifat nondestruktif dengan menggunakan kamera biasa masih perlu dikembangkan.

Neural Network atau Jaringan Syaraf Tiruan (JST) merupakan sebuah metode pengenalan pola, prediksi, klasifikasi dan pendekatan fungsi yang meniru arsitektur kerja otak. JST memiliki tiga lapisan yaitu lapisan input, lapisan tersembunyi dan lapisan output. Salah satu algoritma pada JST adalah backpropagation yang mempunyai kemampuan untuk melakukan dua tahap perhitungan yaitu perhitungan maju dan turun. Perhitungan maju untuk menghitung eror antara output dan target, sedangkan perhitungan mundur sebagai penghitungan balik eror untuk memperbaiki bobot pada semua neuron yang ada. Penerapan JST dengan algoritma backpropagation dalam pengambilan keputusan telah dilaporkan beberapa peneliti. Kusmaryanto, S (2014) menggunakan JST Backpropagation untuk pengenalan wajah. Dewi et al (2009) mampu menerapkan JST untuk memprediksi kelulusan mahasiswa. Lebih jauh lagi di bidang perikanan, Dowlati et al (2009) menggunakan metode regresi dan neural network untuk memprediksi tingkat kesegaran ikan bawal.

Tahapan dalam sebuah JST pattern recognition adalah akuisisi data, preprocessing, ekstraksi ciri dan pengenalan data (Putra, D. 2010). JST dikembangkan dari data citra Red Green Blue (RGB)  yang diukur menggunakan computer vision system. Sebuah citra dalam model Red Green Blue (RGB) memiliki tiga komponen warna utama yaitu merah, hijau dan biru dengan rentang nilai setiap komponen utama antara 0-225. Warna selain komponen utama adalah hasil percampuran komponen warna utama dengan nilai tertentu. Penggunaan  komponen RGB dalam bentuk data statistik yang digunakan sebagai input pada jaringan pengambil keputusan telah dilaporkan. Hariyanto (2009) menggunakan metode pengubahan komponen RGB pada gelang resistor untuk mengetahui nilai resistansinya. Lebih lanjut dibidang perikanan Issac et al (2017) mampu menggunakan data masukan nilai RGB citra insang sebagai penentu tingkat kesegaran ikan.

Berdasarkan beberapa literatur di atas, penerapan JST pattern recognition di bidang perikanan masih belum digunakan secara luas, padahal metode image processing dengan JST sebagai pengambil keputusan yang akurat. Oleh karena itu, LRMPHP telah melakukan penelitian untuk mengetahui kemampuan JST dalam memprediksi kesegaran ikan tuna (Thunnus sp.). 

Rangkaian penelitian dimulai dengan pengambilan data citra mata ikan menggunakan kamera logitech 8 megapiksel di dalam kotak khusus berukuran x 55 x 12 cm yang telah dilengkapi dengan lampu LED pada empat titik. Citra mata ikan yang diperoleh selanjutnya melewati dua tahapan pengolahan citra menggunakan software matlab 2014a, yaitu preprocessing dan ekstraksi rata rata nilai RGB citra mata ikan. Berikut diagram proses penelitian (Gambar 1.) dan alur preprocessing citra mata ikan (Gambar 2.).
Gambar 1. Diagram proses penelitian

Gambar 2. Alur preprocessing citra mata ikan
    Hasil preprocessing citra mata ikan pada penelitian ini terlihat pada Gambar 3. berikut:

Gambar 3. Hasil preprocessing citra mata ikan


Berdasarkan olah data yang dilakukan maka diperolah nilai akurasi, sensitivitas dan spesivitas pengujian masing-masing sebesar 8695 dan 71 %. Nilai AUC yang diperoleh sebesar 0,834, sehingga dapat dsimpulkan bahwa metode klasifikasi kesegaran ikan berdasarkan nilai rata rata RGB citra mata ikan tergolong baik.

Kamis, 26 April 2018

Cek Kesegaran Ikan dengan Android (HP)

Pengujian kesegaran ikan diperlukan dalam upaya peningkatan mutu serta keamanan produk perikanan Indonesia. Berbagai metode pengujian telah dikembangkan untuk memperoleh metode pengujian yang lebih baik.

Peralatan uji kesegaran ikan berbasis nondestruktif telah dikembangkan oleh LRMPHP, Bantul, DIY. Prinsip kerja alat ini adalah pendeteksian bau ikan menggunakan sensor dan citra mata ikan menggunakan kamera. Aplikasi penggunaan citra dan sensor bau saat ini masih jarang diterapkan di bidang perikanan, namun metode ini menawarkan kecepatan, kemudahan, akurasi yang baik dan bersifat non destruksi.

Pengujian kesegaran ikan
Desain peralatan yang dikembangkan menggunakan aplikasi smartphone dengan spesifikasi sistem operasi android. Desain peralatan yang dikembangkan berbentuk kotak (bok) dengan sensor dan kamera diletakkan di dalamnya. Ikan yang akan diuji tingkat kesegarannya dimasukan dalam kotak pengujian tersebut. Data sensor dan citra mata yang diperoleh selanjutnya diolah oleh software pada aplikasi uji kesegaran ikan yang telah diinstal di handphone android.

Tampilan software dan hasil pengujian kesegaran ikan

Peralatan uji lapang yang dikembangkan LRMPHP telah diuji cobakan di Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Yogyakarta, Cilacap dan Semarang dengan tingkat penerimaan yang baik. Diharapkan peralatan tersebut dapat membantu stake holder dalam menentukan kesegaran ikan secara cepat dan praktis

 

Jumat, 06 April 2018

NIKMATNYA IKAN ASAP TANPA ASAP

Ikan asap adalah produk olahan ikan yang mempunyai aroma asap. Selama ini pembuatan ikan asap masih dilakukan secara tradisional, yaitu dengan cara mengasapi ikan secara langsung. Namun, metode ini mempunyai beberapa kelemahan, antara lain kualitas produk ikan kurang konsisten serta adanya deposit tar dan senyawa-senyawa yang berbahaya bagi kesehatan (Dharmadji, 1996). Kelemahan ini dapat diatasi dengan penggunaan asap cair. Dengan cara ini pemberian aroma asap pada makanan akan lebih praktis, yaitu dengan pencelupan produk ke dalam asap cair yang diikuti dengan pengeringan (Darmadji, 2002).

Asap cair merupakan asap yang terkondensasi menjadi fase cair. Asap ini mengandung berbagai senyawa, antara lain fenol, karbonil, asam, furan, alkohol, ester, keton, hidrokarbon alifatik, dan poliaromatik hidrokarbon. Asap cair dapat dihasilkan secara sederhana dengan malakukan pirolisis atau pembakaran dengan pembatasan penggunaan oksigen menggunakan alat pirolisa. Untuk mendapatkan asap cair dengan kualitas yang aman untuk makanan, dapat dilakukan dengan mengatur suhu pembakaran dan meredistilasi asap yang dihasilkan atau menyaring dengan filter tertentu. Salah satu perbandingan pengasapan tradisional dan pengasapan asap cair ditunjukkan pada Gambar di bawah ini.



Pengasapan asap cair
Pengasapan tradisional

Salah satu penelitian pembuatan asap cair dan aplikasinya telah dikembangkan oleh peneliti di Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan dan Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Asap cair dihasilkan dari pirolisis tempurung kelapa pada suhu 400 derajat C yang dapat menghasilkan asap cair dengan kandungan fenol paling tinggi (sebesar 4,01%) dan tidak mengandung senyawa benzo(a)pyrene yang berbahaya bagi kesehatan. Pembuatan ikan patin asap terbilang sangat mudah, hanya dengan merendam ikan dalam larutan asap cair dan dilanjutkan dengan pemanasan. Ikan patin (pangasiun sutchi) kemudian di fillet kemudian dicuci dan direndam dalam larutan asap cair yang telah disiapkan. 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perendaman fillet ikan patin dalam larutan asap cair dengan konsentrasi 2% selama 20 menit menghasilkan ikan patin asap yang paling disukai panelis. Ikan asap yang telah dihasilkan dapat disantap dengan cara digoreng langsung atau dibuat sayur mangut agaiur lebih nikmat. Untuk menambah aroma dan rasa tertentu dalam perendaman asap cair dapat ditambahkan bumbu-bumbu sesuai selera. Pada pembuatan ikan asap ini dijamin mata tidak akan perih dan hasilnya aroma asap lebih terasa dan nikmat tentunya. Selamat mencoba dan menikmati ikan asap tanpa asap. 




Rabu, 04 April 2018

Alat Pengisi Adonan Tahu Tuna Sistem Pedal Listrik (ALPINDAL)

Alat pengisi adonan tahu tuna sistem pedal listrik (ALPINDAL)
Salah satu pemanfaatan ikan tuna yang banyak dilakukan di masyarakat adalah pengolahan ikan menjadi tahu tuna. Pembuatan tahu tuna relatif lebih mudah untuk dikerjakan dan tidak memakan banyak beaya. Tahu tuna juga mudah dipasarkan karena harganya yang terjangkau sehingga banyak orang menyukainya. Namun demikian dalam pengolahannya beberapa permasalahan sering muncul diantaranya proses pengirisan tahu dan memasukkan daging tuna ke dalam tahu. Proses pengirisan tahu dan memasukkan daging ikan tuna ke dalam tahu umumnya masih dilakukan secara manual sehingga mengakibatkan proses lama dan membutuhkan tenaga yang lebih banyak. Salah satu altematif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah penggunaan peralatan pengisi adonan tahu yang dirancang dengan mesin sistem pedal listrik.

Perancangan alat pengisi adonan sistem pedal listrik ditujukan sebagai langkah awal dalam mengoptimalkan proses pengisian adonan tahu tuna. Salah satu komponen yang menjadi pokok perhatian dalam perancangan ini adalah selongsong adonan. Proses desain dan evaluasi kekuatan struktur selongsong adonan merupakan hal penting. Sebelum produk dibuat berdasarkan gambar perancangan, maka harus dievaluasi terlebih dahulu terhadap persyaratan-persyaratan atau spesifikasi produk yang akan dihasilkan. Produk hasil fase perancangan produk tersebut haruslah dapat memenuhi spesifikasi yang disyaratkan yaitu dapat memenuhi fungsinya, mempunyai karakteristik yang harus dipunyai dan dapat melakukan kinerja atau performance.

Untuk memudahkan evaluasi tersebut maka dapat dibuat sebuah atau beberapa buah prototipe, yang secara fisik dapat diuji untuk mengetahui apakah fungsi, karakteristik dan kinerjanya memenuhi persyaratan-persyaratan yang dikenakan pada produk tersebut. Perlu dicatat bahwa pembuatan prototipe produk baru layak dilakukan jika produk akan dibuat secara massal atau secara seri. Dalam hal produk hanya dibuat sebuah saja atau beberapa, maka pembuatan prototipe menjadi mahal. Untuk mengatasinya dapat dibuat prototipe pada komputer dan kemudian dilakukan simulasi.

LRMPHP telah melakukan penelitian perancangan  alat  pengisi   adonan  sistem pedal listik ke dalam tahu. Salah satu komponen utama dari alat yang dirancang adalah selongsong adonan. Desain rancangan, khususnya analisis komponen selongsong menggunakan Software Solidworks Release 2013. Model pengisi adonan sistem pedal listrik rancangan LRMPHP mempunyai kapasitas pengisian adonan 1,45-2,79 detik/tahu, menggunakan daya listrik 180 watt dan dilengkapi dengan meja peniris stainless steel.

Hasil analisis dan uji kapasitas selongsong adonan dengan menggunakan batasan nilai von misses dan translational displacement dalam pembuatan rancangan diperoleh hasil translational displacement sebesar 0.000168375 mm dan nilai von misses terbesar adalah 5,79638107 N/m2. Nilai yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan nilai elastic modulus stainless steel sebesar 1,9x1011 N/m2. Berdasarkan nilai tersebut rancangan selongsong adonan dapat diterima dan dipabrikasi pada tahap selanjutnya.

Sumber : Semnaskan XII UGM, 2015.

Jumat, 16 Maret 2018

Meat Bone Separator Manual

Indonesia memiliki sumber daya laut terutama sumber daya ikan yang berlimpah, namun pemanfaatan hasil tangkap samping (HTS) ikan-ikan non ekonomis masih belum optimal. Salah satu cara untuk memanfaatkan ikan-ikan tersebut adalah melalui pengambilan daging dan meningkatkan nilai tambahnya menjadi produk-produk berbasis daging lumat dan surimi seperti nugget, baso, sosis dan lainnya.

Daging ikan lumat adalah daging ikan yang telah dipisahkan dari kulit dan tulangnya dengan menggunakan mechanical bone separator. Hampir semua jenis ikan dapat dibuat menjadi daging lumat. LRMPHP telah berhasil mengembangkan alat pemisah daging ikan secara manual (meat bone separator manual) seperti terlihat pada Gambar 1. Alat pemisah daging hasil rancang bangun LRMPHP tersebut memiliki spesifikasi diameter drum berpori 3 mm dengan kecepatan pemasukan bahan (kecepatan conveyor belt) sebesar 2,09 cm/det. Alat pemisah daging ini dioperasikan secara manual dengan memutar atau mengengkol tuas yang terdapat di bagian samping alat dan diteruskan melalui mekanisme puly belt ke drum berpori.

Gambar 1. Meat bone separator manual hasil rancang bangun LRMPHP

Prinsip kerja alat ini yaitu memaksa daging keluar melalui lubang kecil drum berpori akibat adanya tekanan dan gaya geser pada ikan oleh silinder dan karet, sehingga tulang ikan dipaksa untuk terpapar di atas permukaan berlubang. Hal ini memungkinkan terjadinya ekstrusi daging melalui lubang, sehingga tidak hanya tulang, tapi juga sisik dan kulit tetap berada di sisi luar drum. Drum berpori (perforated drum) dibuat dengan tujuan untuk menyediakan penekanan yang melingkar dan gaya geser terhadap ikan.

Untuk mengetahui efektivitas alat pemisah daging manual tersebut, telah dilakukan penelitian uji coba alat pemisah daging menggunakan ikan putihan (Puntius bromoides). Hasil penelitian ini telah dipublikasikan dalam Seminar Nasional Tahunan XII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 2015. Ikan putihan yang digunakan untuk uji coba dipreparasi dengan tiga perlakuan yaitu dibelah (butterfly), disayat memanjang di bagian sisi-sisinya dan utuh dengan ikan fillet utuh sebagai pembanding. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah kapasitas produksi, rendemen dan kandungan kimia daging lumat yang dihasilkan.

Gambar 2. Uji coba Meat bone separator manual
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah rendemen daging lumat ikan putihan dengan perlakuan utuh lebih besar dibandingkan rendemen dengan perlakuan belah (butterfly) dan sayat samping, yaitu masing-masing sebesar 51,5%, 47,5% dan 42%. Kapasitas alat pada pemisahan daging ikan putihan pada perlakuan butterfly lebih besar dibandingkan dengan perlakuan sayat samping dan perlakuan utuh, yaitu masing-masing sebesar 5,54 kg/ jam, 2,87 kg/ jam, dan 2,76 kg/ jam. Kadar air daging lumat putihan yang dihasilkan memiliki kisaran 80,16 – 81,13%, protein (83,09 - 83,17%)), lemak (2,87 – 3,21%), abu (5,53 – 5,75%), dan kalsiumnya berkisar 0,19 – 0,22%. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perlakuan preparasi butterfly mempercepat waktu pengolahan daging lumat putihan menjadi lebih singkat dan dapat meminimalisir tulang yang terikut pada daging lumat.




Selasa, 13 Maret 2018

Uji Lapang Alat Transportasi Ikan Segar Berpendingin (Altis-2)


Altis-2 pada kendaraan roda dua 
Ikan merupakan sumber pangan dengan komposisi gizi yang lengkap baik protein maupun lemak tak jenuhnya, sehingga permintaan masyarakat terhadap ikan untuk konsumsi terus meningkat. Namun demikian, ikan merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable food). Kerusakan atau penurunan mutu ikan terjadi lebih cepat bila suhu penyimpanan meningkat. Salah satu upaya yang dapat diterapkan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan pendinginan.

Teknologi pendinginan adalah teknologi yang paling mudah digunakan untuk mempertahankan kualitas ikan termasuk penerapan sistem rantai dingin. Dengan sistem ini kondisi dingin ikan terus dijaga selama penanganan mulai dari penangkapan hingga ke tangan konsumen. Penerapan sistem rantai dingin mutlak diperlukan agar konsumen memperoleh ikan dengan kualitas prima. Oleh karena itu pedagang ikan segar keliling yang secara langsung mendistribusikan ikan ke tangan konsumen harus menerapkan sistem ini.

Berbagai metode pendinginan digunakan oleh para pedagang ikan keliling, diantaranya penggunaan es dalam wadah styrofoam, tetapi banyak kendala yang dihadapi terutama penggunaan es yang boros. Metode lain yang dapat diterapkan adalah penggunaan peti ikan berpendingin oleh pedagang ikan segar (Widianto et al., 2014). Penerapan peti ikan berpendingin mampu mempertahankan suhu dan mutu kesegaran ikan selama proses penjualan ikan eceran oleh pedagang ikan keliling. Peti ikan berpendingin tersebut dikenal dengan nama Altis-2 yang merupakan singkatan dari alat transportasi ikan segar untuk kendaraan roda 2.

Altis-2 terdiri dua buah peti berinsulasi yang dirangkaikan dengan dudukan dan diletakkan di sebelah kanan dan kiri sepeda motor. Sistem pendingin alat ini menggunakan sistem Thermoelectric Cooling (TEC) dengan sumber energi arus DC dari aki. Prinsip kerja sistem TEC adalah pemanfaatan terjadinya perbedaan suhu antara sisi panas dan sisi dingin modul TEC atau peltier. Setelah diberi arus DC bagian sisi dingin peltier digunakan untuk menyerap panas ruang penyimpanan yang kemudian dilepas ke lingkungan melalui sisi panas elemen peltier sehingga suhu ruang menjadi rendah. Sistem TEC memiliki keunggulan lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan sistem pendingin konvensional menggunakan refrigerant.

Uji lapang Altis-2 telah dilakukan di Kabupaten Gunungkidul oleh pedagang ikan segar. Hasil uji coba peti dalam kondisi kosong menunjukkan bahwa suhu dapat mencapai 11,1–15,5 °C. Setelah diisi 30 kg ikan yang sebelumnya telah didinginkan hingga 0–1 °C dan dilakukan praktek penjualan ikan eceran selama 3– 3.8 jam, suhu ikan meningkat tetapi hanya sampai 3 °C dengan nilai mutu organoleptik dan jumlah bakteri yang hampir tidak berubah. Dapat dikatakan bahwa peti ikan berpendingin mampu mempertahankan suhu dan mutu kesegaran ikan selama proses penjualan ikan eceran oleh pedagang ikan keliling. Namun pengujian baru dilakukan pada satu pedagang dan satu lokasi sehingga belum diketahui penerimaannya bila diujikan di lokasi yang berbeda. Oleh karena itu, teknologi baru tersebut sebelum diterapkan perlu dikaji penerimaannya oleh pengguna.

LRMPHP sebagai institusi yang telah mengembangkan teknologi Altis-2, telah melakukan penelitian tentang Analisis Penerimaan Alat Transportasi Ikan Segar Berpendingin Menggunakan Pendekatan Technology Acceptance Models (TAM). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variabel yang mempengaruhi penerimaan Altis-2 oleh para pedagang ikan menggunakan model TAM dan perbaikan yang harus dilakukan sebelum diproduksi massal. TAM merupakan model yang menjelaskan penerimaan masyarakat terhadap suatu sistem atau teknologi tertentu serta opini mereka terhadap teknologi tersebut (Davis, 1989). Ciri khas dari Model TAM adalah sederhana namun bisa memprediksi penerimaan maupun penggunaan teknologi.

Penelitian ini difokuskan pada uji penerimaan Altis-2 oleh pedagang ikan segar di 6 lokasi (Gunung Kidul, Padang, Pacitan, Bantul, Jembrana dan Bitung) melalui pendekatan TAM. Variabel yang digunakan yaitu kemudahan, kegunaan dan penerimaan alat tersebut. Hasil pengukuran tingkat penerimaan Altis-2 oleh pedagang ikan keliling menggunakan TAM memberikan gambaran bahwa variabel kemudahan pengoperasian (persiapan, pelaksanaan dan pasca pemakaian) Altis-2 sangat mempengaruhi tingkat penerimaan. Kondisi spesifik lokasi uji yang berbeda tidak menyebabkan perbedaan persepsi kemudahan, kegunaan dan penerimaan penggunaan Altis-2. Pada tahapan operasional perlu adanya beberapa perbaikan yaitu kemudahan memasang dan melepas rangka dari sepeda motor, penyesuaian ukuran lebar Altis-2, dan perubahan posisi sistem pendingin TEC hingga menjadi lebih tinggi.


Sumber : JPB Kelautan dan Perikanan 2016



Rabu, 07 Maret 2018

Pembuatan Patin (Pangasius sp.) Asap Bentuk Butterfly

Ikan patin asap bentuk butterfly
Pembuatan ikan asap secara tradisional biasanya dilakukan dengan mengasapi ikan secara langsung dari pembakaran kayu atau tempurung kelapa. Namun, metode ini mempunyai beberapa kelemahan, antara lain kualitas produk ikan kurang konsisten serta adanya deposit tar dan senyawa - senyawa yang berbahaya bagi kesehatan. Metode lain untuk mengatasi permasalahan tersebut salah satunya dengan memanfaatkan asap cair, sehingga pemberian aroma asap pada makanan akan lebih praktis, yaitu dengan pencelupan produk ke dalam asap cair yang diikuti dengan pengeringan. 

Asap cair dihasilkan dari pirolisis kayu atau tempurung kelapa yang merupakan hasil kondensasi asap menjadi bentuk cair. Komponen utama dari asap cair merupakan senyawa-senyawa dari golongan fenol, karbonil, asam, furan, alkohol, ester, keton, hidrokarbon alifatik, dan poliaromatik hidrokarbon. Senyawa-senyawa ini terbentuk akibat terjadinya pirolisis 3 komponen utama kayu yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Senyawa fenol berperan sebagai pembentuk aroma dan rasa asap, senyawa karbonil sebagai pembentuk warna kuning kecoklatan, sedangkan senyawa asam berperan sebagai pengawet produk ikan.

Metode pembuatan ikan asap dengan menggunakan asap cair umumnya dilakukan dengan perendaman ikan di dalam larutan asap cair, penirisan dan dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan oven. Metode tersebut dinilai efektif dalam pembuatan ikan asap seperti dilaporkan dalam penelitian Marasabessy (2007) dan Widianto & Utomo (2010). Marasabessy (2007) melaporkan bahwa ikan tongkol yang direndam dalam larutan asap cair konsentrasi 2% selama 30 menit dan dilanjutkan dengan pengovenan sampai suhu 80°C menghasilkan ikan tongkol asap yang paling disukai panelis. Penelitian Widianto & Utomo (2010) melaporkan bahwa perendaman fillet ikan patin dalam larutan asap cair dengan konsentrasi 2% selama 20 menit menghasilkan ikan patin asap yang paling disukai panelis.

Konsentrasi asap cair, lama perendaman ikan di dalam asap cair merupakan salah satu faktor mutu produk ikan asap yang dihasilkan. Selain itu, bentuk dan jenis ikan juga berpengaruh terhadap penentuan konsentrasi dan lama perendaman ikan di dalam larutan asap cair. LRMPHP telah melakukan penelitian tentang pembuatan ikan patin asap dalam bentuk butterfly untuk menentukan konsentrasi dan lama perendaman terbaik. Penelitian ini telah dipublikasikan dalam Semnaskan-UGM XIV Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 2017.

Asap cair yang digunakan diperoleh dari hasil pirolisis tempurung dan telah dimurnikan melalui tahap pengendapan, penyaringan dan diredestilasi pada suhu 125°C. Pembuaatan ikan patin asap bentuk butterfly dilakukan dengan merendam ikan patin yang telah dibersihkan dan dibentuk butterfly di dalam larutan asap cair dengan konsentrasi 1, 2 dan 3% selama 20, 30 dan 40 menit yang sebelumnya ditambahkan garam NaCl 2,5 %. Setelah direndam, ikan patin ditiriskan selama 30 menit kemudian dipanggang pada suhu 80°C selama 8 jam di dalam oven. Ikan patin asap yang dihasilkan kemudian diuji organoleptik mengacu pada SNI 01-2346-2006. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan patin asap bentuk butterfly yang direndam dalam larutan asap cair dengan konsentrasi 3% selama 30 menit mempunyai nilai organoleptik terbaik. Nilai hedonik pada perlakuan tersebut mempunyai nilai sebesar 6,25.

Rabu, 28 Februari 2018

Penentuan Posisi Optimal Pembekuan Ikan Dalam Freezer

Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang penting bagi manusia karena kandungan gizinya yang tinggi. Sebagaimana produk hayati lainnya, ikan merupakan bahan pangan yang cepat mengalami kerusakan (highly perishable food). Suhu merupakan faktor penting yang dapat mempercepat proses kerusakan, serta menurunkan mutu dan kesegaran ikan. Mutu dan kesegaran ikan dapat dipertahankan jika ditangani dengan hati-hati, cepat, bersih dan disimpan pada suhu rendah. Salah satu upaya penanganan pascapanen suhu rendah yang dapat dilakukan yaitu dengan cara pembekuan.

Ada berbagai peralatan pembekuan ikan yang selama ini digunakan, salah satunya yaitu alat pembeku komersial yang lazim dikenal sebagai freezer. Penggunaan freezer sangat populer, baik untuk skala rumah tangga, industri maupun untuk kegiatan penelitian. Pada kegiatan penelitian misalnya, freezer digunakan untuk menyimpan sampel atau produk yang memerlukan pengujian atau proses lebih lanjut. Salah satu titik kritis yang terjadi pada proses ini adalah ketidakseragaman suhu antar posisi pada ruang penyimpanan beku serta perbedaan suhu real time dengan dengan suhu setting. Akibatnya produk yang disimpan dapat mengalami kemunduran mutu, padahal diharapkan produk yang disimpan memiliki kualitas sebagaimana pada saat awal dimasukkan ke dalam freezer, serta memiliki kualitas yang seragam meskipun diletakkan pada posisi yang berbeda tergantung ketersediaan slot pada freezer

Penelitian tentang tingkat keseragaman suhu ruang freezer dan penentuan posisi optimal untuk pembekuan dan penyimpanan ikan telah dilakukan oleh LRMPHP. Peralatan yang digunakan meliputi chestfreezer dengan kapasitas 1050 L, termometer 4 channel merk Lutron seri TM-946 dengan probe merk Krisbow seri KW0600301 dan termohigrometer merk Krisbow seri KW06-561. Rangkaian penelitian meliputi pengaturan data logger suhu, perekaman kelembapan lingkungan selama percobaan berlangsung, pengujian dengan beban kosong dan pengujian dengan menggunakan beban. Pengukuran suhu dilakukan pada 4 titik sebagai perlakuan (T1: bagian tengah kiri freezer, T2: bagian tengah atas freezer, T3: bagian tengah bawah freezer, T4: bagian tengah kanan freezer) di dalam ruang freezer yang mewakili bentuk tiga dimensi bangun ruang, dengan menggunakan variasi dua suhu setting tertinggi (knop 5 dan knop 7). 
Skema pengukuran suhu tampak depan (a) chestfreezer, (b) termometer T1, T2, T3, T4, posisi probe

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembapan udara berkisar antara 44,95 – 48,59%, dengan rata-rata untuk masing-masing suhu setting (knop 5 dan knop 7) sebesar 46,57% dan 46,57%. Hasil uji-t menunjukkan bahwa kelembapan udara tidak berbeda nyata antar suhu setting. Rata-rata suhu saat pengujian beban kosong berturut-turut untuk probe T1, T2, T3 dan T4 sebesar -14,35°C, -13,07°C,-18,45°C dan -14,10°C untuk knop 5; dan -15,20°C, -13,93°C, -19,30°C dan -15,20°C untuk knop 7. Rata-rata suhu saat pengujian dengan beban berturut-turut untuk probe T1, T2, T3 dan T4 sebesar -7,12°C, -7,15°C, -13,72°C, -9,42°C untuk knop 5; dan -7,75°C, -7,78°C, -14,50°C, -10,12°C untuk knop 7. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan posisi memberikan pengaruh yang berbeda nyata, baik untuk pengujian beban kosong maupun pengujian dengan beban. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa posisi T3 merupakan perlakuan yang terbaik (suhu paling rendah pada semua setting suhu) dan berbeda nyata dengan 3 perlakuan lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ruang penyimpanan/ruang pembekuan pada freezer yang diuji coba memiliki suhu yang tidak seragam. Hasil pengujian baik tanpa beban maupun dengan beban menunjukkan bahwa posisi yang baik untuk meletakkan sampel dengan deviasi terendah antara suhu yang diukur dan suhu setting yaitu pada titik T3.

Sumber : Prosiding Semnaskan-UGM XIV Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 2016


Selasa, 20 Februari 2018

Pengaruh Rasio Ikan dengan Es Serut dan Lama Penyimpanan Terhadap Perubahan Mutu Ikan Cakalang dan Ikan Tuna


Ikan tuna, tongkol, dan cakalang (ikan TTC) merupakan jenis ikan ekonomis penting Indonesia. Daerah penyebaran ikan TTC di Indonesia meliputi Laut Banda, Laut Maluku, Laut Flores, Laut Sulawesi, Laut Hindia, Laut Halmahera, perairan utara Aceh, barat Sumatra, selatan Jawa, utara Sulawesi, Teluk Tomini, Teluk Cendrawasih, dan Laut Arafura. Volume produksi ikan TTC cenderung meningkat setiap tahunnya, dimana pada tahun 2010 dan 2011 masing-masing mencapai 910.506 dan 974.011 ton (Supriatna et al., 2014). Peningkatan hasil tangkapan laut tersebut harus dibarengi dengan penanganan dan penyimpanan yang baik sehingga mutunya tetap terjaga. Penanganan dan penyimpanan yang kurang baik menyebabkan mutu hasil tangkapan menurun sehingga umur simpannya terbatas. 

Kemunduran mutu ikan hasil tangkapan dapat terjadi karena adanya aktivitas biokimia dan mikrobial sehingga menyebabkan akumulasi dari senyawa-senyawa volatil dan karbonil pada daging ikan. Salah satu parameter kimia yang banyak digunakan untuk mengetahui kualitas ikan segar adalah Total Volatile Basic Amines (TVB). Kandungan dari senyawa TVB-N (Total Volatile Basic Nitrogen) pada ikan sering digunakan sebagai indeks kesegaran ikan dan batas nilai TVB-N adalah spesifik untuk jenis ikan yang berbeda (European Union Law 95/149/EC, 1995). Kenaikan kandungan TVB-N disebabkan pembentukan trimethylamine (TMA) pada ikan. TMA merupakan senyawa yang menjadi komponen penyebab pembusukan ikan yang utama dan memiliki bau amis yang spesifik. 

Metode yang umum digunakan untuk mempertahankan kesegaran ikan adalah dengan menyimpannya pada suhu rendah. Salah satu cara yang sering dilakukan adalah menyimpannya dalam cool box yang sudah diberi es serut. Pemberian es serut bertujuan agar es tidak melukai tubuh ikan dan lebih fleksibel saat diletakkan di dalam wadah dibandingkan dengan diberi es balok. Penelitian tentang pengaruh rasio ikan dengan es serut dan lama penyimpanan terhadap perubahan mutu ikan cakalang dan ikan tuna telah dilakukan oleh LRMPHP. Penelitian tersebut telah dipublikasikan dalam Semnaskan-UGM XIV Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 2017.

Dalam penelitian digunakan variasi rasio ikan dengan es yaitu 1:1, 1:2, dan 1:3 serta variasi lama penyimpanan 48 dan 96 jam. Parameter yang diamati berupa perubahan suhu rata-rata, TVB (Total Volatile Base), dan TMA (Trimethyilamine). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyimpanan dengan rasio ikan dengan es 1 : 3 lebih efektif untuk mempertahankan suhu ikan tuna, sedangkan untuk penyimpanan dengan rasio ikan dengan es 1 : 2 lebih efektif untuk mempertahankan suhu ikan cakalang. Kadar TVB pada ikan cakalang yang disimpan dengan rasio ikan dengan es 1:2 selama 48 jam masih berada pada ambang batas yang aman untuk dikonsumsi, sedangkan kadar TVB pada ikan tuna yang disimpan dengan rasio ikan dengan es 1:3 selama 96 jam masih berada pada ambang batas yang aman untuk dikonsumsi. Pada ikan cakalang yang disimpan dengan rasio ikan dengan es 1 : 2 dan 1 : 3 sampai jam ke-96 kemungkinan sudah terbentuk senyawa-senyawa volatil seperti TMA, DMA, amonia, dan methilamine namun masih dapat ditoleransi, sedangkan pada ikan tuna yang disimpan dengan rasio ikan dengan es 1 : 1, 1 : 2 dan 1 : 3 sampai jam ke 96 memiliki kadar TMA yang rendah sehingga masih aman untuk dikonsumsi.

Senin, 05 Februari 2018

Perancangan Sistem Termal Evaporator Tipe Shell and Tube untuk Aplikasi RSW pada Kapal 10–15 GT

Turunnya mutu ikan hasil tangkapan setelah proses penanganan dan transportasi di kapal saat ini masih tinggi. Seperti halnya mutu hasil tangkapan ikan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng Kabupaten Gunung Kidul akibat proses penanganan ikan di atas kapal yang kurang baik. Salah satu penyebab turunnya mutu ikan tersebut adalah metode pendinginan yang digunakan saat ini masih menggunakan es balok. Es banyak digunakan sebagai media pendingin karena mudah digunakan dan memiliki kapasitas pendinginan yang besar. Namun penggunaan es balok memiliki kekurangan antara lain ikan di bagian bawah palka rusak karena tertekan oleh ikan di bagian atasnya. Selain itu juga bongkahan es yang tajam dapat merobek kulit/perut ikan, kondisi ini diperparah dengan adanya guncangan di kapal. Ketersediaan es balok juga kadang terbatas dan sulit didapat.

Sistem pendingin ikan yang umum digunakan di PPP Sadeng adalah sistem pendingin palka dengan es. Rata - rata kapal motor 10 - 15 GT di PPP Sadeng memiliki 3 buah palka, dan masing - masing palka mampu menampung es balok sekitar 45 - 60 buah es balok. Dengan berat es per balok sekitar 50 kg maka es yang dibawa sekitar 2,5 - 3 ton/trip dengan lama penangkapan sekitar 5-12 hari. Penggunaan es dengan jumlah tersebut juga menambah berat kapal dan mengurangi kapasitas volume palkah untuk ikan dan menambah kebutuhan bahan bakar selama penangkapan ikan.

Kapal ikan 12 GT dengan 3 palka di PPP Sadeng Gunung Kidul
Salah satu alternatif upaya peningkatan penanganan ikan di kapal adalah penerapan system refrigerasi di atas kapal untuk meningkatkan kemampuan simpan ikan hasil tangkapan nelayan. Sistem pendinginan refrigerasi yang banyak digunakan saat ini adalah sistem pendinginan kompresi uap dan sistem pendinginan absorpsi uap. Salah satu teknologi refrigerasi untuk penanganan ikan di kapal yang tepat saat ini adalah refrigerated sea water (RSW) pada pendinginan dengan suhu sekitar 0 ºC. Sistem RSW memiliki beberapa kelebihan seperti potensi kerusakan fisik yang relatif kecil, penurunan suhu yang cepat, serta suhu yang lebih stabil dan merata. Salah satu komponen penting sistem RSW yang berfungsi untuk pendinginan air RSW adalah evaporator.

Perancangan evaporator yang tepat di kapal diperlukan sehingga efisien serta mudah dalam pemasangan dan penggunaan/perawatan. Salah satu tipe evaporator yang sesuai untuk RSW kapal dari performansi datanya adalah evaporator dry expansion tipe liquid chiller konstruksi shell and tube horisontal, dengan pertimbangan luas permukaan yang dibutuhkan kecil (cocok untuk ruang kecil di kapal 10-15 GT), penempatan evaporator horizontal terhadap kapal, koefisien perpindahan panasnya besar dan konstruksi lebih sederhana serta perawatan cukup mudah, murah, dapat dilakukan secara kimiawi.

Penelitian perancangan  termal evaporator tipe shell&tube untuk aplikasi RSW di kapal berukuran 10-15 GT di PPP Sadeng Kabupaten Gunung Kidul dengan kapasitas sampai 1,3 ton ikan telah dilakukan oleh LRMPHP. Target perancangan meliputi perhitungan/analisis dan penentuan spesifikasi evaporator tipe shell&tube yaitu luasan permukaan perpindahan panas, jumlah pass, diameter dan panjang shell, serta diameter, panjang, dan bahan pipa. Perancangan evaporator dilakukan dengan menggunakan metode Kern. Hasil rancangan didapatkan beban pendinginan dengan unsur utama ikan dan air laut RSW sebesar 4,52 kW. Siklus refrigerasi menggunakan sistem kompresi uap refrigeran R22 dengan evaporator shell&tube, dengan target suhu air RSW adalah -1 0C maka suhu evaporasi diatur -8 0C. Hasil rancangan evaporator berupa shell&tube 4 pass dengan luas permukaan perpindahan panas 1,015 m2, diameter shell 150 mm dengan panjang 85 mm, serta pipa diameter 15,875 mm sejumlah 24 buah berbahan tembaga.


Sumber : Prosiding Semnaskan-UGM XIV Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 2017 

Kamis, 25 Januari 2018

PENGUJIAN DERET SENSOR GAS MQ135 DAN MQ136 UNTUK PENDETEKSIAN FORMALIN PADA FILLET IKAN TUNA

Penggunaan formalin sebagai bahan pengawet produk pangan terbukti berbahaya dan sudah melampaui ambang batas aturan pemakaiannya. Pengujian formalin saat ini lebih banyak dilakukan dengan uji laboratorium dan test kit uji formalin. Uji laboratorium memerlukan biaya mahal dan waktu lama, sedangkan pengujian menggunakan test kit uji formalin terbatas pada hasil kualitatif dan rentan rusak. Alternatif pendeteksian keberadaan formalin dapat menggunakan sensor gas dikarenakan sifat formalin mudah menguap dan berbau. Untuk menggunakan sensor gas sebagai alat uji formalin diperlukan artificial intelegent/kecerdasan buatan sebagai pengolah data.

Perkembangan teknologi memungkinkan penggunaan polimer untuk alat test formalin. Polimer memliki kelebihan kemudahan pengaturan komposisi polimer dan karbon untuk memperoleh polimer yang peka terhadap formalin. Uap gas pada bahan pangan dapat dipengaruhi oleh keberadaan formalin, maka dengan mengukur uap yang mengalir secara natural atau melalui perlakuan pemanasan bahan pangan, dapat mengindikasikan ada tidaknya formalin. Teknologi lain yang digunakan selain polimer adalah menggunakan mikrokontroler, (Singgih, 2013) melakukan pengujian kandungan formalin dengan metode Spot Test. Prinsip kerjanya yaitu dengan menambahkan cairan (reagent) pada bahan makanan. Mikrokontroler ATMega8 digunakan untuk pengolahan data dan output dapat ditampilkan pada LCD. Penelitain ini menggunakan nilai RGB sebagai indikator formalin yang pada bahan pangan. Sa’adiyah et al (2014) merancang Digital Formaldehyde Meter yang disesuaikan dengan standar pasar dan keergonomisan. Alat ini menggunakan teknologi electronic nose dengan sensor gas array yang terdiri dari sensor TGS 2600 dan TGS 2611. Pada penelitian tersebut pengambilan keputusan nilai formalin berdasarkan tiga sistem deteksi, yaitu lampu hijau menandakan kadar deteksi formalin aman, kemudian lampu kuning menandakan masuk pada batas kritis, dan lampu merah untuk sedangkan batas kritis. Penggunaan lebih dari satu sensor gas biasa disebut deret sensor. Hal ini dilakukan untuk menambah akurasi nilai prediksi.

Gambar 1. Komponen deret sensor (a) MQ135, (b) MQ136

LRMPHP telah melakukan penelitian tentang pengujian deret sensor gas MQ135 dan MQ136 untuk mendeteksi keberadaan formalin. Hasil penelitian tersebut disampaikan dalam Prosiding Semnaskan UGM XIV. Untuk mendapatkan hasil yang kuantitatif data diolah menggunakan kecerdasan buatan jaringan syaraf tiruan. Data latih yang digunakan sebagai dasar jaringan syaraf tiruan memperoleh output adalah larutan formalin berseri (0,25%; 0,5%; 0,75%; 1%) yang dideteksi oleh deret sensor. Sebanyak 50 gr fillet ikan tuna direndam masingmasing ke dalam larutan formalin berseri (0,025%; 0,05%; 0,075%; 0,1%) sebagai bahan untuk pengujian deret sensor. Filet ikan tuna tersebut diuji menggunakan metode spektrofotometri UV-vis sebagai validasi output deret sensor. Data yang diperoleh diolah menggunakan jaringan syaraf tiruan untuk mendapatkan prediksi nilai formalin pada sampel. Hasil yang diperoleh perhitungan pertama pada jaringan syaraf tiruan didapatkan nilai Mean Square Error (MSE) 0,05, nilai Mean Absolute Percentage Error (MAPE) 96,2%. Perhitungan selanjutnya didapatkan nilai terendah MSE 0,001, dan nilai MAPE 24,2%. Penurunan nilai MSE, dan MAPE menandakan hasil prediksi jaringan syaraf tiruan mendekati nilai sebenarnya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut deret sensor MQ135 dan MQ136 dapat digunakan sebagai pendeteksi keberadaan formalin pada fillet ikan tuna.