EKONOMI BIRU

Arah Kebijakan Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan 2021 - 2024 Berbasis EKONOMI BIRU

ZI WBK? Yes, We CAN

LRMPHP siap meneruskan pembangunan Zona Integritas menuju satuan kerja berpredikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) yang telah dimulai sejak tahun 2021. ZI WBK? Yes, We CAN.

LRMPHP ber-ZONA INTEGRITAS

Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan siap menerapkan Zona Integritas menuju satuan kerja berpredikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) 2021.

Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan

LRMPHP sebagai UPT Badan Riset dan SDM KP melaksanakan riset mekanisasi pengolahan hasil perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 81/2020

Tugas Pokok dan Fungsi

Melakukan tugas penelitian dan pengembangan strategis bidang mekanisasi proses hasil perikanan di bidang uji coba dan peningkatan skala teknologi pengolahan, serta rancang bangun alat dan mesin untuk peningkatan efisiensi penanganan dan pengolahan hasil perikanan

Produk Hasil Rancang Bangun LRMPHP

Lebih dari 30 peralatan hasil rancang bangun LRMPHP telah dihasilkan selama kurun waktu 2012-2021

Kerjasama Riset

Bahu membahu untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan dengan berlandaskan Ekonomi Biru

Sumber Daya Manusia

LRMPHP saat ini didukung oleh Sumber Daya Manusia sebanyak 20 orang dengan latar belakang sains dan engineering.

Kanal Pengelolaan Informasi LRMPHP

Diagram pengelolaan kanal informasi LRMPHP

Tampilkan postingan dengan label Publikasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Publikasi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 29 Oktober 2019

Mesin Penggiling Daging Berdaya Rendah Sebagai Penunjang Usaha Diversifikasi Produk Olahan Ikan Skala UKM

Era milenial menuntut industri makanan untuk dapat menciptakan diversifikasi produk olahan yang beraneka ragam, hal ini terkait dengan kaum milenial yang memiliki kecenderungan ingin mencoba dengan hal–hal baru. Dalam hal ini tentunya, industri makanan tetap memperhatikan nilai gizi makanan yang dihasilkan sehingga dapat meningkatkan nilai tambah (value added) suatu produk melalui diversifikasi produk. 

Diversifikasi produk perikanan telah banyak dipublikasikan seperti di Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Volume XIV No (1) oleh Agustini pada Tahun 2003 dan Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Volume 23 No (4) oleh Damanik pada Tahun 2017. Salah satu contoh bahan untuk membuat diversifikasi produk olahan adalah ikan. Menurut Agustini dkk, sumberdaya ikan dikenal sebagai penghasil asam lemak. Ikan kaya akan gizi yang didalamnya terkandung senyawa protein, mineral, lemak serta penghasil terbesar asam lemak Omega-3 (Polyunsaturated Fatty Acids/PUFA) khususnya eicosapentaenoic (EPA) dan docosahexaenoic (DHA) yang sangat bermanfaat bagi kesehatan. Omega-3 (PUFA) yang terkandung dalam ikan salah satu fungsinya berperan dalam perkembangan otak manusia dimulai sejak kehamilan pada trimester ketiga pada saat wanita hamil hingga 18 Bulan setelah kelahiran, sehingga makanan konsumsi PUFA ibu hamil dan menyusui harus diperhatikan. Protein ikan memberikan kontribusi terbesar dalam kelompok sumber protein hewani sekitar 57,2% dibanding daging, telur dan susu seperti yang dikutip dari data Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional) BPS (Gambar 1.). 

Gambar 1. Grafik Kontribusi Konsumsi Protein Ikan Terhadap Total Konsumsi Protein 
Sumber : Data Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional) BPS
Melalui diversifikasi produk perikanan diharapkan dapat meningkatkan kebutuhan masyarakat akan konsumsi ikan sesuai dengan program GEMARIKAN (Gemar Memasyarakatkan Makan Ikan) yang telah diinisiasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Program tersebut bertujuan salah satunya untuk menanggulangi persoalan gangguan pertumbuhan (stunting). Diversifikasi produk perikanan misalnya olahan ikan yang telah dikembangkan berbentuk produk fish jelly. Beberapa olahan fish jelly produk yang sudah ada dipasaran diantaranya produk nugget, bakso, kamaboko, empek-empek, otak-otak, galantin, siomay, sosis dan lain lain.

Pembuatan diversifikasi produk olahan ikan tersebut menggunakan bahan dasar daging ikan lumat yang diperoleh dari proses penggilingan daging sehingga dibutuhkan peralatan berupa mesin penggiling daging. Mesin penggiling daging berfungsi untuk melumatkan daging sehingga diperoleh daging lumat yang akan diproses lebih lanjut menjadi produk olahan fish jelly. Mesin penggiling daging banyak dijumpai di pasaran dengan berbagai tipe dan kapasitas yang bervariasi. 

Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan telah membuat mesin penggiling daging skala UKM dengan kapasitas 90 kg/jam, ukuran diameter screen 6 mm dan spesifikasi mesin 180 Watt (Gambar 2.). Desain tersebut disesuaikan dengan karakteristik UKM terutama dengan kebutuhan energi sangat rendah. Dengan mesin ini perkiraan biaya penggilingan daging ikan dengan asumsi listrik sebesar Rp. 1500/Kwh dibutuhkan biaya sangat rendah sebesar Rp. 295/100kg daging ikan. Pengujian kinerja mesin penggiling daging tersebut sudah dilakukan untuk membuat nugget ikan tuna (Thunnus sp.). Hasil pengujian nugget yang dihasilkan pada uji kinerja prototipe mesin penggiling daging sudah sesuai dengan standar SNI 7758: 2013.  

Gambar 2. Mesin penggiling daging skala UKM  
Penulis : Naila Zulfia, Peneliti LRMPHP

Senin, 28 Oktober 2019

Penyimpanan Rumput Laut Segar Menggunakan Metode Penggaraman


Rumput Laut (Foto: Dok: Wikimedia Commons)
Rumput laut merupakan makroalga yang dapat dikonsumsi karena mempunyai kandungan nutrien yang melimpah, senyawa bioaktif, rasa umami dan keuntungan ekologis. Hal tersebut menjadikan rumput laut semakin popular di negara barat. Rumput laut yang dapat dimakan terdiri dari jenis Rhodophyta, Chlorophyta dan Phaeophyta. Ketiga jenis rumput laut tersebut memiliki morfologi, tekstur, rasa dan kandungan nutrien yang berbeda. 

Hasil penelitian Nayar dan Bott pada tahun 2014, budidaya rumput laut terbesar secara global terdapat di Negara China, Korea Selatan dan Jepang. Rumput laut coklat (brown seaweeds) mengalami kenaikan secara cepat di Negara Eropa dan Amerika. Budidaya rumput laut semakin meningkat, namun demikian pengetahuan tentang pengolahan serta penanganan rumput laut segar untuk penyimpanan yang lama belum banyak diketahui.

Telah dilaporkan pada Journal of Applied Phycology oleh Schiener, et al. (2015) dan Sappati (2019) bahwa rumput laut segar memiliki kandungan 750-900 g/kg moisture, Aw (~0,90 - 0,95), dan memiliki umur simpan yang pendek jika didinginkan. Pada kondisi segar rumput laut memiliki umur simpan yang pendek, sehingga harus dikeringkan untuk memperpanjang umur simpan. Namun, metode pengeringan membutuhkan peralatan pendukung dan menghasilkan produk yang tidak cocok untuk keperluan produk rumput laut segar diberbagai hidangan.

Saat ini perkembangan teknik penyimpanan rumput laut segar dapat dilakukan dengan menggunakan penggaraman yang bertujuan menjaga mutu rumput laut. Perry et al melakukan penelitian yang dimuat pada Jurnal LWT - Food Science and Technology dengan cara memberikan perlakuan konsentrasi garam yang berbeda-beda (0, 30, 50, 180, 200 g/kg). Rumput laut yang sudah diberikan garam kemudian dimasukkan ke dalam wadah food-grade polypropylene dan disimpan pada suhu 5 °C selama 90 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik kualitas fisika kimia (moisture, aktivitas air, ash, tekstur dan pH) rumput laut dalam berbagai perlakuan konsentrasi garam relatif konstan. Penurunan moisture terjadi pada perlakuan konsentrasi garam yang lebih tinggi (200 g/kg). 

 
Sumber : Perry et al. (2019)

Hasil uji hedonik terhadap rumput laut dengan mengukur berbagai parameter  meliputi warna, aroma, rasa, tekstur dan overal licking menunjukkan bahwa secara keseluruhan masyarakat menyukai produk salad yang dibuat dari rumput laut dengan perlakuan 50, 180 dan 200 g/kg NaCl. Teknik penyimpanan rumput laut segar dengan metode dry salting merupakan metode pengolahan yang dapat menghasilkan produk yang berkualitas tinggi yang dapat diterima konsumen dengan umur simpan dalam pendingin selama 90 hari.  


Penulis : Naila Zulfia, Peneliti LRMPHP

Kamis, 29 Agustus 2019

Pulsed electric field-assisted extraction (PEF)


Teknologi PEF secaraluas digunakan oleh industri pangan sebagai teknologi prosesnon-thermal. Total spesifik energi yang digunakan kurang dari 20 kJ/kg.Prinsip penggunaan teknologi PEF ialah memberikan kejutan listrik pada bahan dengan meletakkan sampel berupa biomaterial diantara dua elektroda pada pulse amplitude antara 0,1 kV/cm hingga 20 kV/cm (Gambar 1). Penggunaan medan listrik terhadap sel biomaterial menyebabkan perubahan struktur membran dan membuat ukuran pori sel membesar. Fenomena ini disebut electroporation atau electropermeabilisation yang mengakibatkan keluarnya kandungan intra seluler sel (Gambar 2). Keunggulan teknologi PEF yaitu pertama dengan adanya efek electroporation, larutan pengekstrak biomaterial akan lebih mudah berekasi dengan senyawa target sehingga akan diperoleh rendemen lebih tinggi. Kedua, PEF sesuai untuk ekstraksi material yang sensitive terhadap panas, sehingga sifat fungsional dari limbah seafood tetap terjaga.

Gambar 1. Ilustrasi teknologi PEF (Sumber : Meriem Bouras, 2015)

Contoh aplikasi PEF, adalah untuk ekstraksi chondroitin sulphate dari tulang ikan. Laporan He, G. dalam jurnal Food Chemistry tahun 2014, menyebutkan berhasil didapatkan rendemen chondroitin sulphate sebesar 6,92 g/L dengan rasio bahan dan pelarut (1:15 g/ml), intensitas medan listrik 16,88 kV/cm, jumlah pulse 9 dan konsentrasi NaOH 3,24% selama 5 menit. Sedangkan untuk ekstraksi yang sama dengan metode enzimatis dibutuhkan waktu 4 jam menghasilkan rendemen 3,43 g/L, dengan metode alkali selama 2 jam diperoleh rendemen 3,76 g/L, dan dengan metode ultrasonic 23 menit rendemen 4,87 g/L.

Gambar 2. Mekanisme pelepasan manoprotein dari biomaterial menggunakan PEF (Sumber :Juan Manuel Martínez and Javier Raso, 2016)
Pada skala Laboratorium, teknologi PEF telah menunjukkan hasil yang baik dalam proses pengolahan pangan. Namun tantangan terbesar dalam pengembangan teknologi ini ialah besarnya investasi yang harus dikeluarkan untuk aplikasinya pada skala industri. Efek negatif lain ialah ada kemungkinan terjadinya reaksi elektrokimia pada elektroda dengan medium sehingga dikhawatirkan korosi elektroda akan masuk dalam produk pangan.

Penulis : Arif Rahman Hakim

Kamis, 18 Juli 2019

Microwave-Assisted Extraction (MAE)


Inovasi teknologi pengolahan pangan yang tengah berkembang ialah Microwave-assisted extraction (MAE). Recovery senyawa bernilai tinggi dari limbah perikanan akan mudah dilakukan dengan menggunakan teknologi ini. Microwave adalah salah satu gelombang elektromagnetik, dengan interval panjang gelombang antara 1 mm hingga 1 m dan interval frekuensi antara 300 MHz dan 300 GHz. Gelombang elektromagnetik yang dihasilkan oleh microwave bersifat seperti magnet yang memiliki 2 ion kutub (positif dan negatif). Bahan yang mengandung ion positif dan negatif seperti air, lemak, gula akan ikut berputar ketika gelombang mikro berputar akibat adanya gaya tolak kutub yang sama. Putaran / frekuensi golombang miko umumnya sebesar 2450 kali per detik menyebabkan molekul air dan lemak yang berputar sedemikian cepat akan menghasilkan gesekan sehingga menimbulkan panas. Model teknologi MAE diilustrasikan pada Gambar 1. Peningkatan suhu selama proses MAE mengakibatkan kenaikan proses evaporasi cairan dalam sel dan terjadi peningkatan tekanan. Hal ini memberikan efek perubahan porositas dinding sel. Peningkatan porositas matrik sel biomaterial yang dikombinasikan dengan kenaikan suhu serta tekanan mendorong terjadinya transfer massa (Gambar 2). Efisiensi proses MAE dipengaruhi beberapa variabel diantaranya daya keluaran microwave, frekuensi, kadar air bahan, siklus ekstraksi, waktu proses, tekanan, viskositas,ukuran sampel dan bahan pelarut alami. 
Gambar 1. Ilustrasi teknologi MAE (sumber : Hoi Po Cheng, 2007)
Alishashi dalam Journal of Polymers and the Environment tahun 2011, berhasil melakukan ekstraksi kitosan dari limbah kepala udang (Metapeneus monodon) dan membandingkannya dengan ekstraksi menggunakan autoclave. Derajat deacetylation kitosan yang dihasilkan adalah 95% dalam waktu proses selama 35 menit sedangkan ekstraksi menggunakan autoclave diperoleh deacetylation kitosan 93% dalam proses selama 3 jam. Selain itu kitosan dari proses MAE memiliki struktur crystalline lebih baik serta kandungan anti bakteri yang lebih tinggi.

Gambar 2. Proses pengeluaran bioaktif sampel menggunakan gelombang mikro (sumber : Ying Li, 2013)
Berdasarkan hal tersebut, keunggulan MAE diantaranya adalah proses ekstraksi yang lebih cepat, mengurangi kebutuhan pelarut dan rendemen yang diperoleh tinggi. Namun MAE juga memiliki kekurangan yaitu masih diperlukan proses lanjutan berupa sentrifugasi ataupun filtrasi untuk memisahkan residu padat yang dihasilkan, efisiensi MAE akan menjadi sangat rendah jika senyawa target dan media pelarutnya bukan berupa senyawa polar dan atau senyawa volatile.

Penulis : Arif Rahman Hakim (Peneliti Muda LRMPHP)

Senin, 06 Mei 2019

Bioetanol dari Limbah Rumput Laut (Bagian II)

Bioetanol adalah alkohol yang dihasilkan dari fermentasi karbohidrat dari tanaman yang mengandung gula atau serat. Menurut Karta, Puspawati dan Ciawi yang disampaikan dalam Jurnal Cakra Kimia Volume 3, Nomor 12 Tahun 2015, bioetanol digunakan sebagai bahan bakar alternatif karena memiliki kandungan oksigen yang tinggi, bilangan oktan yang tinggi, mudah terurai, dan merupakan sumber energi yang dapat diperbaharui.

Bahan baku bioetanol yang sering dimanfaatkan yaitu singkong, tebu, nira, sorgum, nira nipah, ubi jalar, pisang kepok, dan sebagainya. Namun bahan baku tersebut memiliki keterbatasan ketersediaan karena bersaing untuk kebutuhan konsumsi manusia, selain itu bahan tersebut memerlukan lahan penanaman yang luas, dan bioetanol yang diperoleh belum maksimal. Oleh karena itu, perlu dikembangkan bahan baku alternatif untuk pembuatan bioetanol, salah satunya dengan menggunakan makroalga. Borines, de Leon, dan McHenry dalam Jurnal Renewable and Sustainable Energy Reviews Volume 15, tahun 2011, menyatakan bahwa makroalga yang dapat digunakan untuk bahan baku bioetanol yaitu makroalga dengan kandungan karbohidrat tinggi seperti Sargassum, Gracilaria, Prymnesium parvum, Euglena gracilis, Gelidium amansii, dan Laminaria.

Peneliti LRMPHP telah melakukan penelitian mengenai produksi bioetanol dari limbah alginat dengan menggunakan kapang Trichoderma viride. Produksi bioetanol tersebut terdiri dari empat tahap yaitu : pembuatan limbah alginat, pemurnian selulosa dari limbah alginat, proses hidrolisis enzimatis yang berlangsung selama 4 hari yang dilanjutkan dengan proses fermentasi selulosa dari limbah alginat selama 3 hari. Salah satu tahapan yang penting adalah proses hidrolisis enzimatisnya seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.
Gambar 1. Limbah alginat hasil ekstraksi (Dok. Wullandari dan Erawan, 2012)
Gambar 2. Diagram alir proses hidrolisis enzimatis selulosa dari limbah alginat dengan kapang Trichoderma viride (Dok. Wullandari dan Erawan, 2012)

Menurut Wullandari dan Erawan yang disampaikan dalam Prosiding Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, Tingkat pertumbuhan T. viride-OD600 dapat dilihat pada Gambar 5 dengan kisaran antara 0,0000-0,9744, dengan tingkat pertumbuhan T. viride-OD600 tertinggi terjadi pada hari ke-4 (Gambar 4).

Sementara itu, Total gula pereduksi (TGP) dapat dilihat kisaran nilainya antara 3,34-5,83% (b/b). Total gula pereduksi tertinggi terjadi pada hari ke-7 (Gambar 5). Aktivitas enzim CMCase T. viride pada proses hidrolisis enzimatis selulosa dari limbah alginat dapat dilihat pada Gambar 6 dengan kisaran antara 0,00-184,74 IU/mL substrat.

Gambar 4. Tingkat pertumbuhan T. viride-OD600 pada proses hidrolisis enzimatis
(Dok. Wullandari dan Erawan, 2012)
Gambar 5. Total gula pereduksi (TGP) dari proses hidrolisis enzimatis (Dok. Wullandari dan Erawan, 2012)
Gambar 6. Aktivitas enzim CMCase kapang Trichoderma viride pada proses hidrolisis enzimatis 
(Dok. Wullandari dan Erawan, 2012)

Penulis: Putri Wullandari, peneliti LRMPHP

Jumat, 12 April 2019

Pendekatan Fuzzy Logic untuk Menilai Tingkat Kesegaran Ikan Sarden


Perhatian masyarakat akhir-akhir ini makin serius terkait mutu kesegaran ikan laut maupun prosedur penilaian mutunya. Metode penilaian yang saat ini ada dan sudah diterapkan mencakup TVBN (Total Volatile Base Nitrogen), TMA (Trimethylamina), Rasio TVBN/TMA, senyawa nukleotida, dan perhitungan amina biogenik (histamin). Prinsip penilaian sejumlah metode tersebut adalah meningkatnya konsentrasi senyawa amina biogenik selama penyimpanan ikan laut. Keberadaan senyawa amina biogenik pada ikan laut selama penyimpanan mengindikasikan adanya senyawa toksik bersifat karsinogenik yang mengancam kesehatan manusia.

Meskipun metode penilaian kesegaran ikan laut berbasis senyawa amina biogenik telah diterapkan cukup lama namun masih terdapat sejumlah keterbatasan antara lain metode tersebut khusus mengukur kadar histamin, karena berbagai senyawa amina biogenik belum terbentuk pada fase awal penyimpanan penggunaan metode tersebut lebih terfokus pada fase pertengahan dan akhir penyimpanan; penerapan metode sangat dipengaruhi oleh perbedaan spesies ikan ; belum terdapat batas nilai / konsentrasi yang jelas tentang batas penolakan kualitas kesegaran; pola pembentukan senyawa  yang berbeda selama penyimpanan sangat mempengaruhi hasil metode penilaian; serta belum diterapkannya pembobotan yang seimbang antara berbagai senyawa amina biogenik (histamin, putresin, kadaverin, dan tyramin).  

Sejumlah keterbatasan tersebut mendorong Zare dan Ghazali (2016) menggunakan teknik pemodelan fuzzy logic sebagai upaya mengatasi sejumlah variabel input dengan batas yang bersifat tidak crisp (tegas) dalam penilaian kesegaran ikan laut. Pertimbangan penggunaan fuzzy logic dalam penilaian kesegaran ikan karena selama penyimpanan dapat terjadi peningkatan senyawa amina biogenik yang sangat fluktuatif dan bervariasi, spesies ikan yang sangat beragam, dan level toksisitas yang sangat bervariasi karena peran senyawa amina biogenik yang berlainan.

Prinsip kerja aplikasi fuzzy logic terbagi menjadi 3 tahap utama yaitu: (1) Fuzzifikasi merupakan tahap untuk mendefinisikan variabel  input dan keanggotaan pada uji mutu ikan yang meliputi level amina biogenik dan level temperatur selama penyimpanan ikan sarden. Konsentrasi amina biogenik diukur dengan metode HPLC (kromatografi); (2) Penerapan fuzzy rules yaitu tahapan untuk menerapkan aturan IF…THEN pada variabel input yang menjelaskan berbagai kemungkinan kondisi berdasarkan interaksi yang dimiliki. Tahap ini ditampilkan pada Tabel 1; (3) Pemrosesan fuzzy untuk variabel output yaitu tahap kalkulasi output untuk persiapan proses defuzzifikasi sehingga dihasilkan grade (level) kesegaran sarden. Grade mutu ikan yang digunakan meliputi: (1) Grade 1-2 (Kualitas bagus) yaitu ikan segar dengan kadar amina biogenik paling rendah, dengan skor 0-2.; (2) Grade  2-4 (Kualitas sedang) mutu ikan sarden dengan level putresin dan kadaverin rendah hingga sedang, kemungkinan bebas histamin, skor 2-4; dan (3) Grade 4-12 (Kualitas rendah) merupakan tingkat mutu kesegaran sarden dengan level putresin dan kadaverin sedang hingga tinggi, kadar histamin bisa 0 hingga menunjukkan level tertentu. G12 menunjukkan mutu ikan busuk (tidak bisa digunakan sebagai ikan konsumsi).

Hasil penelitian Zare dan Ghazali yang dipublikasikan pada Jurnal Food Chemistry (2016) menunjukkan kemampuan fuzzy logic untuk menjelaskan mutu sarden segar pada tahap awal penyimpanan dimana senyawa amina biogenik lebih banyak terdeteksi pada bagian pertengahan dan akhir penyimpanan dengan metode non fuzzy logic, kisaran kesegaran ikan sarden dapat didetilkan hingga 12 grade/level meskipun dengan batas nilai antar kelas yang saling berdekatan. Hasil validasi metode fuzzy logic dengan Indeks Amina Biogenik (BAI) dan Indeks Mutu (QI) menunjukkan kemampuan untuk mengklasifikasikan sarden sesuai grade tertentu yang tidak dapat dicapai dengan kedua Indeks tersebut.

Sumber : Zare dan Ghazali (2016)




















Penulis : I Made Susi Erawan (Peneliti Pertama LRMPHP)

Selasa, 09 April 2019

Menghalau Ikan Predator dari Perairan Umum dengan Memanfaatkan Teknologi Computer Vision

Spesies ikan yang besifat hama/pengganggu sedang berkembang biak dan mengancam seluruh dunia, menjadi bahaya serius untuk biodiversitas (keanekaragaman hayati) dan ekosistem serta memberi dampak kerugian ekonomi yang besar. Sebagai binatang peraiiran yang paling awal dikenal, ikan juga menjadi salah satu kelompok yang mendapat ancaman terbesar. Bagi spesies ikan yang dianggap sebagai hama/pengganggu, usaha untuk memisahkan ikan hama akan menurunkan biaya jangka panjang untuk upaya pemberantasan dan pengendaliannya.

Di Indonesia keberadaan organisme hama di perairan umum digolongkan menjadi dua yaitu predator dan kompetitor. Predator dapat menetap di area budidaya atau bermigrasi dalam rangkan mencari makan. Sementara kompetitor merupakan organisme yang bersaing dengan organisme lokal untuk mendapatkan ruang, pakan, dan oksigen. Selama ini di Indonesia terdapat dua cara utama pemberantasan hama yaitu (1) secara mekanis dengan cara diburu atau jika serangan hama sudah parah maka ikan budidaya harus dipindahkan dan (2) secara kimia yaitu menggunakan pestisida organik seperti saponin dan akar tuba (Anon, 2016). Kedua metode tersebut selain berbahaya bagi populasi ikan juga memilki dampak negatif bagi ekosistem perairan umum.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Zhang et al., (2016) yang dipublikasikan di Biosystems Engineering telah mengembangkan teknologi computer vision sebagai upaya sistematis pada sistem biologi di daerah danau dan sungai untuk mengidentifikasi dan memisahkan spesies ikan hama. Sistem pemisahan ikan hama tersebut terdiri dari pintu masuk yang lebar (Gambar 1) dimana ikan berenang mendekati, kemudian area semakin menyempit hingga mendekati kamera, selanjutnya dengan bantuan sistem pencahayaan dipergunakan untuk mengambil citra dan mengidentifikasi ikan. Ketika ikan telah teridentifikasi maka gerbang pengarah dapat digunakan untuk mengontrol satu dari dua jalur dimana yang dapat dilalui ikan. Jika terdeteksi sebagai ikan hama maka ikan tersebut akan diarahkan ke area tunggu, sementara jika bukan ikan hama akan dikembalikan menuju badan air yang tidak membahayakan ikan.

 
Gambar 1. Sistem penghalau ikan predator menggunakan computer vision (Sumber : Zhang, et al. 2016)

Teknologi computer vision yang dikembangkan bertumpu pada kemampuan algoritma genetik dalam mengidentifikasi dan memisahkan spesies ikan hama. Algoritma genetik (GA) memiliki kemampuan untuk membangkitkan fitur spesifik yang disebut dengan fitur ECO sesuai jenis ikan hama yang akan dipisahkan. Setelah melalui transformasi citra dengan urutan tertentu, fitur yang telah dibangkitkan oleh GA akan dipetakan untuk proses klasifikasi sesuai vektor pembobotan dan ambang batas berdasarkan perceptron yang terbentuk pada tiap fitur. Proses seleksi fitur dilakukan berdasarkan fitness score tertinggi. Fitur ECO selesai dikonstruksi jika telah memenuhi jumlah generasi atau beberapa kriteria yang ditentukan.

Hasil penelitian yang telah dimuat dalam Biosystems Engineering 145 (2016) menunjukkan bahwa metode yang diusulkan mampu menghasilkan rerata akurasi klasifikasi sebesar 98% dengan standar deviasi 0.96% yang terdiri dari set data 8 spesies ikan dengan total citra sebanyak 1049. Sistem monitoring ikan berbasis computer vision tersebut dapat dibangun untuk memisahkan spesies ikan hama sekaligus memonitor kelimpahan, distribusi, ukuran spesies ikan lokal dengan dampak kerusakan yang minimal dan tidak membahayakan ikan. 

Penulis : I Made Susi Erawan (Peneliti Pertama LRMPHP)

Selasa, 26 Maret 2019

Identifikasi Kesegaran Ikan Berbasis Image Processing (Kombinasi Transformasi Wavelet dan Fuzzy Logic)

Ikan berperan sebagai salah satu komoditas penting sebagai sumber protein untuk manusia. Fungsi tersebut dapat dicapai dengan mempertahankan tingkat kesegarannya. Sejumlah faktor kimia, biologi, dan fisik dapat mempercepat penurunan kesegaran ikan. Untuk memenuhi tuntutan konsumen akan tersedianya ikan segar, perlu dikembangkan suatu metode yang bersifat non destruktif, mudah penggunaannya, dan tingkat akurasi yang tinggi.

Metode penilaian kesegaran ikan berbasis sensori manusia masih menjadi yang terbaik dan paling akurat dibanding sejumlah metode lain. Namun untuk mencapai akurasi seperti yang diharapkan, metode sensori tersebut sangat dipengaruhi sejumlah faktor seperti tahap preparasi sampel yang memadai dan ketersediaan tim panelis yang cukup berpengalaman, sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menentukan kesegaran ikan.

Untuk mengatasi keterbatasan metode sensori tersebut perlu dikembangkan suatu metode yang dapat membantu mengatasi kelelahan yang dialami manusia selama proses pemeriksaan mutu kesegaran ikan secara visual. Sornam et al. (2017) dari Department of Computer Science, University of Madras, telah mengembangkan perangkat lunak untuk mendeteksi kesegaran ikan berbasis image processing (pengolahan citra).

Perangkat lunak yang dikembangkan meliputi modul penangkapan citra ikan. Setelah citra ditangkap terdapat modul untuk melakukan konversi ruang warna citra yang sesuai dengan persepsi mata manusia. Citra yang telah dikonversi tersebut selanjutnya disegmentasi untuk memisahkan area objek utama dengan area background. Proses segmentasi ini dilakukan melalui modul segmentasi berbasis clustering. Proses segmentasi akan menghasilkan area insang dan mata (ROI) yang akan diekstrak untuk mendapatkan informasi statistik atau sering disebut sebagai tahap ekstraksi fitur. Setelah tahap ekstraksi fitur, terdapat modul untuk menjalankan proses klasifikasi sehingga dapat ditentukan status akhir tingkat kesegaran ikan yang diuji.

Kelebihan perangkat lunak pengolahan citra yang dikembangkan tersebut terletak pada proses ekstraksi fitur menggunakan domain transformasi wavelet melalui aplikasi filter Haar serta aplikasi Fuzzy Logic dalam proses klasifikasi tingkat kesegaran ikan. Filter Haar ini mampu menguraikan hingga beberapa level piksel ROI dari citra ikan pada tingkat kesegaran tertentu sehingga didapatkan fitur statistik yang memiliki ciri pembeda. Fitur statistik yang dihasilkan tersebut akan digunakan sebagai input pada Fuzzy Logic dengan output berupa 3 level kesegaran ikan  yaitu busuk, cukup segar, dan sangat segar. Penggunaan Fuzzy Logic memiliki kelebihan yaitu mampu menangani ketidakjelasan batas nilai pada masing-masing tingkat kesegaran ikan sekaligus memungkinkan peneliti untuk memasukkan domain kepakaran berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki untuk membentuk fungsi keanggotaan sekaligus batas nilai yang dimiliki pada tiap tingkat kesegaran ikan yang dikehendaki.

Penelitian yang dipublikasikan dalam Asian Journal of Computer Science And Information Technology (AJCSIT) tersebut menunjukkan penggunaan wavelet dengan fuzzy logic mampu membedakan secara nyata 3 tingkat kesegaran ikan yang diuji. Penelitian lanjutan diperlukan untuk menguji akurasi sistem pada jumlah sampel dan jenis ikan yang lebih banyak serta penambahan input yang lebih kompleks pada Fuzzy Logic sehingga nantinya diharapkan aplikasi image processing yang dikembangkan tersebut mampu menjadi terobosan penentuan kesegaran ikan dengan cepat dan akurat. Secara garis besar proses pengolahan citra hingga klasifikasi kesegaran ikan ditunjukkan pada Gambar berikut :
Gambar 1. Proses Pengolahan Citra hingga Klasifikasi Kesegaran Ikan
Sumber: Modifikasi dari Sornam et al., (2017)


Penulis : I Made Susi Erawan (Peneliti Pertama LRMPHP)

Penerapan Teknologi Microwave untuk Pengeringan Rumput Laut

Rumput laut merupakan komoditas kelautan dan perikanan yang cukup melimpah di Indonesia. Salah satu jenis rumput laut yang melimpah di perairan Indonesia adalah E. Cottonii. Mongabay (2018) menyampaikan bahwa sebesar 80% rumput laut di Indonesia dijual dalam bentuk kering. Kendala yang dihadapi oleh para petani rumput laut di Indonesia adalah proses pengeringan yang lama karena masih mengandalkan pengeringan secara konvensional, yaitu menggunakan sinar matahari langsung. 

Beberapa metode dan alat pengeringan sudah dikembangkan, umumnya adalah pengeringan secara konveksi. Sulaiman (2009) dalam Rubrik Teknologi menyampaikan bahwa pengeringan secara konveksi memiliki kelemahan yaitu energi yang tidak efisien karena waktu pengeringan yang lama dan kualitas produk yang kurang baik karena mengalami penyusutan ukuran dan perubahan bentuk produk. Selain itu pengeringan konvensional menyebabkan perubahan yang tidak diinginkan pada warna, tekstur, flavour dan kualitas nutrisi bahan pangan 

Menurut Orsat et al. (2017) yang disampaikan di artikel Microwave technology for food processing menyatakan bahwa masalah-masalah yang terkait dengan pengeringan konveksi dapat diatasi dengan metode pengeringan berbasis microwave dimana pemanasan yang terjadi adalah pemanasan volumetrik. Artikel lain yang dimuat di https://www.powderbulksolids.com/article (2012) menjelaskan bahwa pemanasan volumetrik adalah pemanasan dari bagian dalam ke luar material yang diakibatkan karena gesekan molekul air di dalam material. Akibat panas tersebut maka sebagian besar uap air diuapkan sebelum meninggalkan material. Hal ini menciptakan semacam pemompaan cairan dari dalam material ke permukaan. Prinsip pengeringan microwave seperti ditunjukkan pada gambar 1.

Gambar 1. Prinsip pengeringan microwave (Sumber : DOI: 10.1039/C7SE00254H (Review Article) Sustainable Energy Fuels, 2017, 1, 1664-1699)
Aplikasi pengeringan produk-produk pertanian dan pangan menggunakan microwave sudah banyak diteliti dan sudah di aplikasikan pada industri. Hal ini dilakukan karena pengeringannya lebih cepat dan tidak merusak kualitas produk. Dalam Handbook of microwave technology for food applications yang disampaikan oleh Datta & Anantheswaran (2001), microwave adalah gelombang elektromagnetik dengan interval frekuensi antara 300 MHz hingga 300 GHz dan panjang gelombang antara 1 mm hingga 1 m. Wray & Ramaswamy (2015) dalam Jurnal Drying Technology menyatakan bahwa frekuensi yang digunakan untuk aplikasi pemanasan microwave yaitu 915 MHz, 2450 MHz, dan 5800 MHz, tetapi yang umum digunakan untuk pengolahan makanan dan khususnya untuk oven microwave adalah 2450 MHz. 

Bahan yang menyerap microwave adalah bahan yang memiliki sifat dielektrik yang baik. Bahan-bahan tersebut adalah bahan yang memiliki kandungan air yang banyak. Berdasarkan studi literatur semakin tinggi kadar air material maka akan semakin tinggi pula loss factor material tersebut dan semakin cepat pula panas yang ditimbulkan. Rumput laut E. Cottonii memiliki kadar air yang cukup besar, menurut Muharany et al. (2017) yang dimuat dalam Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia melaporkan bahwa kadar air rumput laut sebesar 76,15% sehingga penerapan microwave untuk pengeringan rumput laut E. Cottonii sangat mungkin. 

Beberapa penelitian terkait dengan pengeringan rumput laut menggunakan microwave diantaranya oleh Kim & Shin (2017) yang dimuat dalam Korean Journal of Chemical Engineering yang melakukan penelitian untuk meningkatkan kualitas agar rumput laut Glacilaria verrucosa dengan menggunakan perendaman alkali dan pengeringan menggunakan microwave. Proses thawing dan pengeringan menggunakan metode konveksi dapat mengurangi sifat fisik dan kimia agar karena membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu microwave dapat menjadi solusi karena dapat mempercepat proses pengeringan dibandingkan dengan pengeringan menggunakan udara panas. Serowik et al. (2017) disampaikan dalam Journal of Food Engineering melaporkan bahwa pengeringan menggunakan microwave secara substansi tidak merubah warna karagenan kering dan juga tidak memberi efek pada sifat-sifat hidrokoloid. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengeringan menggunakan microwave dapat dipertimbangkan untuk digunakan pada produksi karagenan. 

Penulis : Wahyu Tri Handoyo

Rabu, 13 Maret 2019

Bioetanol dari Limbah Rumput Laut (Bagian I)

Pasokan energi dunia yang berasal dari energi tidak terbarukan seperti fosil dan petrokimia kian menipis. Oleh karena itu, upaya pencarian energi terbarukan terus dilakukan, terutama energi terbarukan yang ramah lingkungan, seperti bioetanol. Etanol dapat dihasilkan dari rumput laut dengan cara merubah serat (komponen penyimpanan) dan selulosa (komponen penyusun dinding sel). Limbah rumput laut, khususnya limbah agar, memiliki beberapa komponen serat (Tabel 1) sehingga perlu dilakukan pemurnian untuk mengekstrak selulosanya agar dapat digunakan dalam pembuatan bioetanol.

Metode pemurnian selulosa yang sudah pernah dilakukan yaitu dengan menggunakan enzim xylanase (enzim yang memiliki kemampuan untuk memecah ikatan antara xilosa di xilan) yang dihasilkan dari jamur Aspergillus niger, yang kedua yaitu dengan menggunakan proses alkalisasi. Namun pemurnian dengan enzim xylanase membutuhkan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit, sedangkan pemurnian dengan proses alkalisasi ini memiliki kelemahan yaitu masih ada sisa kadar lignin. Oleh karena itu perlu dicari cara pemurnian selulosa yang lebih efektif dan biayanya lebih terjangkau, salah satunya yaitu organosol. Organosol adalah salah satu metode yang telah dikomersialisasikan untuk memperoleh selulosa dari biomassa dengan menggunakan pelarut organik, misalnya dengan menggunakan etanol, asam asetat, atau aqueous methanol.

Selulosa sebagai bahan baku pembuatan bioetanol dapat diperoleh dari hasil samping pengolahan rumput laut (agar – agar). Pengolahan agar – agar menghasilkan residu sebanyak 65 – 70% dari keseluruhan bahan baku yang digunakan. Kelimpahan limbah agar ini belum termanfaatkan dengan baik, sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Komponen serat yang terdapat pada beberapa bahan rumput laut disajikan pada Tabel 1. LRMPHP telah melakukan penelitian dalam rangka mendapatkan selulosa dari limbah agar. Salah satu metode yang dikembangkan disajikan pada Gambar 1.

Tabel 1. Komponen Serat pada Beberapa Bahan Rumput Laut

Bahan
Hemiselulosa (%)
Selulosa (%)
Lignin (%)
Bahan Ekstraktif Lainnya (%)
Limbah agar
13,89
59,69
2,37
24,05
Limbah karaginan
6,03
26,72
6,63
60,62
E. spinosum
45,27
4,08
10
40,65
G. salicornia
36,02
4,11
5
54,87
Ulva lactuca
16,42
19,58
2,9
61,1
C. crassa
43,73
25,5
4
26,77
S. polycystum
10,11
24,07
9,27
56,55


Gambar 1. Proses pemurnian selulosa dari limbah agar

Gambar 2. Limbah agar
Dengan menggunakan penambahan asam asetat 0,6 N sebesar 0,05%, rasio limbah agar dengan air 1 : 20, dan suhu pemanasan 80°C dapat diperoleh kadar selulosa sekitar 24 - 26%. Hasil selulosa selanjutnya dapat dipergunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan bioetanol.

Penulis : Putri Wullandari, Peneliti Muda LRMPHP