EKONOMI BIRU

Arah Kebijakan Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan 2021 - 2024 Berbasis EKONOMI BIRU

ZI WBK? Yes, We CAN

LRMPHP siap meneruskan pembangunan Zona Integritas menuju satuan kerja berpredikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) yang telah dimulai sejak tahun 2021. ZI WBK? Yes, We CAN.

LRMPHP ber-ZONA INTEGRITAS

Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan siap menerapkan Zona Integritas menuju satuan kerja berpredikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) 2021.

Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan

LRMPHP sebagai UPT Badan Riset dan SDM KP melaksanakan riset mekanisasi pengolahan hasil perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 81/2020

Tugas Pokok dan Fungsi

Melakukan tugas penelitian dan pengembangan strategis bidang mekanisasi proses hasil perikanan di bidang uji coba dan peningkatan skala teknologi pengolahan, serta rancang bangun alat dan mesin untuk peningkatan efisiensi penanganan dan pengolahan hasil perikanan

Produk Hasil Rancang Bangun LRMPHP

Lebih dari 30 peralatan hasil rancang bangun LRMPHP telah dihasilkan selama kurun waktu 2012-2021

Kerjasama Riset

Bahu membahu untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan dengan berlandaskan Ekonomi Biru

Sumber Daya Manusia

LRMPHP saat ini didukung oleh Sumber Daya Manusia sebanyak 20 orang dengan latar belakang sains dan engineering.

Kanal Pengelolaan Informasi LRMPHP

Diagram pengelolaan kanal informasi LRMPHP

Kamis, 26 Maret 2020

Memahami Perbedaan antara Tepung Semi Refined Carrageenan (SRC) dan Tepung Refined Carrageenan (RC)

Kenampakan tepung SRC dan RC
Indonesia merupakan salah satu negara bahari yang terbesar di dunia, dengan karakterisiik geografisnya sebagian besar merupakan lautan. Salah satu sumberdaya kelautan yang dominan yaitu rumput laut. Rumput laut merah (rhodophyceae) merupakan salah satu penghasil karagenan. Menurut Distantina et al. dalam tulisannya yang dipaparkan pada Seminar Rekayasa Kimia dan Proses pada tahun 2010, karagenan merupakan galaktan tersulfatasi linear hidrofilik. Polimer ini merupakan pengulangan unit disakarida yang diklasifikasi menurut adanya unit 3,6-anhydro galactose (DA) dan posisi gugus sulfat. Menurut Sormin et al. dalam tulisannya yang disajikan pada journal.ipb.ac.id pada tahun 2018, karagenan secara luas digunakan dalam industri pangan karena sifat fisik dan fungsionalnya, misalnya sebagai pengental, pembentuk gel, dan memiliki kemampuan stabilisasi, suspensi protein, juga dalam bidang industri farmasi sebagai bahan pembungkus pil atau tablet, kosmetik, percetakan dan industri tekstil

Jurnal Ilimiah Tindalung tahun 2015 mengungkapkan bahwa Semi Refined Carrageenan (SRC) merupakan salah satu produk karagenan dengan tingkat kemurnian lebih rendah dibandingkan dengan Refined Carrageenan (RC) karena masih  mengandung  sejumlah  kecil  selulosa  yang  ikut  mengendap  bersama  karagenan. Refined  carrageenan sendiri merupakan getah rumput laut yang diekstraksi dengan air atau larutan alkali dari kelas rhodophycae (alga merah).

Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, Universitas Diponegoro, vol.2, no.3, tahun 2013, mengungkapkan cara pembuatan SRC dan RC adalah sebagai berikut : rumput laut kering direndam dengan menggunakan aquadest selama 2 jam, saring rumput laut tersebut kemudian direndam dengan larutan HCl encer (pH 5 – 6) selama 15 menit. Selanjutnya rumput laut tsb dicuci dengan air kemudian direndam dengan larutan KOH selama 24 jam pada pH 9 – 10. Rumput laut kemudian disaring, dibilas dengan air, dan dikeringkan di bawah sinar matahari. Setelah kering, rumput laut diekstraksi dengan perbandingan rumput laut kering : aquadest = 1 g : 60 ml pada suhu 75 - 85°C pH 8 – 9 selama 3 jam kemudian saring. Filtrat diendapkan dengan menggunakan larutan KCl 2,5% dengan perbandingan filtrate : volume KCl yaitu 1 : 2. Gel yang diperoleh dikeringkan dan ditepungkan, hasilnya berupa SRC. SRC yang sudah kering kemudian dilarutkan kembali pada suhu 75 -  85°C selama 30 menit kemudian disaring dengan Whatman No. 41 dan 42 lalu dikeringkan dan ditepungkan sehingga diperoleh RC.

Berdasarkan hasil uji laboratorium, perbedaan antara tepung SRC dan RC ini dapat dilihat dari segi :
1.    Kenampakan
Tepung SRC berwarna kuning kecoklatan, sementara tepung RC berwarna putih.
2.    Ukuran partikel
Ukuran partikel tepung SRC lebih besar dibandingkan tepung RC. Tepung SRC berukuran sekitar 60 mesh, sedangkan tepung RC berukuran sekitar 80 mesh.
3.    pH
pH tepung SRC bersifat sedikit basa dibandingkan dengan tepung RC. Tepung SRC memiliki pH sekitar 8, sedangkan tepung RC memiliki pH sekitar 7.
4.    Kekuatan gel atau gel strength
Gel strength menunjukkan kemampuan karagenan dalam  pembentukan gel. Kekuatan gel tepung SRC jauh lebih rendah dibandingkan dengan tepung RC. Tepung SRC memiliki kekuatan gel sekitar 560 g/cm2 sedangkan tepung RC memiliki kekuatan gel sekitar 1140 kg/cm2
5.    Viskositas
Viskositas tepung SRC lebih tinggi dibandingkan dengan tepung RC. Viskositas tepung SRC sekitar 80 mPas sedangkan viskositas tepung RC sekitar 35 mPas.
Dengan demikian, tepung RC memiliki sifat yang lebih unggul dibandingkan dengan  tepung SRC, namun hal itu menjadikan harga tepung RC lebih mahal.

Penulis : Putri Wullandari, Peneliti LRMPHP

Selasa, 24 Maret 2020

SUDAH SAATNYA BERALIH MENGGUNAKAN KOMPOSIT RUMPUT LAUT

Komposit adalah material yang tersusun atas campuran dua atau lebih material dengan sifat kimia dan fisika berbeda, dan menghasilkan sebuah material baru yang memiliki sifat-sifat berbeda dengan material-material pengusunnya. Filosofi material komposit adalah efek kombinasi dari bahan-bahan penyusunnya. Material komposit tersusun atas dua tipe material penyusun yakni matriks dan fiber (reinforcement) seperti ditunjukkan pada gambar 1. Keduanya memiliki fungsi yang berbeda, fiber berfungsi sebagai material rangka yang menyusun komposit, sedangkan matriks berfungsi untuk merekatkan fiber dan menjaganya agar tidak berubah posisi. Campuran keduanya akan menghasilkan material yang keras, kuat, namun ringan.
Gambar 1. Skema Material Komposit
Seiring dengan inovasi yang dilakukan dalam bidang material, serat alam mulai dikembangkan oleh para peneliti untuk dijadikan sebagai bahan penguat komposit. Hal ini karena serat alam memiliki Sifat fisik yang kuat dan elastis, melimpah dan ramah lingkungan serta memiliki biaya produksi yang rendah. Serat alam yang digunakan sebagai bahan penguat untuk komposit polimer diantaranya yaitu Sisal , Flex, Hemp, Jute, Rami, Kelapa.

Salah satu sumberdaya laut Indonesia yaitu rumput laut juga merupakan bahan alam yang berpotensi dijadikan komposit. Berdasarkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan, rumput laut terutama jenis Eucheuma Cottonii memiliki kandungan selulosa yang tinggi sehingga menghasilkan serat yang kuat. Serat yang kuat tersebut merupakan salah satu syarat bahan yang berpotensi dijadikan serat komposit. Penelitian yang dilakukan oleh Fithriani et al (2007) yang disampaikan dalam Jurnal Pasca Panen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Menunjukkan bahwa kadar alfa selulosa yang diperoleh dari limbah karaginan cukup tinggi yaitu lebih dari 50 %.

Penelitian tentang potensi penggunaan rumput laut Eucheuma Cottonii sebagai bahan komposit juga sudah dilakukan. Peneltian yang dilakukan oleh Yushada et al (2018) yang disampaikan pada AIP Conf. Proc. melakukan pengujian sifat mekanik papan partikel dengan bahan komposit dari Eucheuma Cottonii.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel dengan penambahan serat rumput laut tertinggi memberikan nilai modulus elastisitas, modulus pecah dan kekuatan internal bonding paling tinggi. Hasil uji kekuatan internal bonding memenuhi standard JIS A 5908.


Penulis : Wahyu Tri Handoyo, Peneliti LRMPHP

TERNYATA PINGSAN DAPAT MENGURANGI STRESS

Pemingsanan ikan Nila (Foto : docplayer.com)
Berbagai cara dilakukan untuk menjamin ikan tetap hidup sampai konsumen. Salah satu caranya dengan membuat ikan pinsan agar mengurangi metabolisme selama transportasi ikan serta dapat membawa ikan dalam jumlah banyak. Selain hal tersebut dengan pemingsanan dapat mengurangi stres pada ikan sehingga mengurangi jumlah ikan yang mati selama pengiriman. Pemingsanan dilakukan sebelum kegiatan pengepakan, setelah itu ikan dikondisikan dalam wadah yang telah disediakan dan selanjutnya ikan disadarkan kembali setelah sampai tujuan pengiriman. Metode pemingsanan menjadi kunci keberhasilan pada metode pengiriman ini. Salah satu cata pemingsanan ikan yang umum dilakukan adalah menggunakan bahan anestesi alami seperti minyak cengkeh atau dengan cara sederhana dengan pendinginan sampai suhu tertentu. Dosis minyak cengkeh, suhu pendinginan dan lamanya proses pemingsanan menjadi sangat krusial pada metode ini. Termasuk juga karakteristik ikan juga menentukan metode pemingsanan yang akan dipilih. 

Hendri Clifton pada tahun 2014 telah melakukan penelitian tentang pengaruh lama waktu waktu pembiusan menggunakan minyak cengkeh terhadap kelangsungan hidup benih ikan Jurung (Tor Sp) yang dilakukan dengan berbagai dosis. Metode yang di gunakan dalam penelitian tersebut adalah metode eksperimen. Penelitian tersebut mengunakan 4 perlakuan dosis minyak cengkeh masing-masing perlakuan A (0,005ml/l), B (0,010ml/l), C (0,015ml/l) dan D (0,025ml/l). Minyak cengkeh dipergunakan untuk memingsankan ikan. Hasil penelitian menunjukan bahwa dosis minyak cengkeh memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kelangsungan hidup benih ikan jurung. Dari hasil uji beda perlakuan menunjukan bahwa kelangsungan hidup tertinggi berada pada perlakuan C dosis 0,015ml/l yang di dapatkan hasil sebesar 83,33% dengan waktu pingsan ke pulih sadar dengan waktu 5 jam, sedangkan pada perlakuan A dosis 0,005ml/l 70% dengan waktu 1 jam dan pada perlakuan B dosis 0,010 sebesar 66,66% dengan lama waktu pulih sadar 3 jam, sedangkan pada perlakuan D dosis 0,025ml/l sebesar 43,33% dengan waktu pingsan ke pulih sadar 5 jam. Hasil pengukuran kualitas air pada saat penelitian masih dalam layak untuk kehidupan benih ikan jurung, antara lain suhu berkisar 25- 27 0C, oksigen terlarut 4,42-5,42 ppm dan pH 6 – 6,5.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Nurdiyan dkk., dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Muhammadiyah Pontianak yang melakukan transportasi sistem kering untuk transportasi ikan Jelawat yang dilakukan pemingsanan dengan suhu rendah. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama waktu pengangkutan terhadap kelangsungan hidup ikan pasca penyadaran dengan menggunakan ketebalan media busa 6 cm untuk mempertahankan suhu rendah. Perlakuan yang dilakukan adalah perlakuan A dengan lama waktu 2,5 jam, perlakuan B lama waktu 3,5 jam, perlakuan C lama waktu 4,5 jam dan perlakuan D lama waktu 5,5 jam. Hasil penelitian menunjukkan lama waktu transportasi ikan jelawat menggunakan sistem kering dengan ketebalan media busa 6 cm berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan jelawat. Selama penyadaran ikan, waktu yang terbaik yaitu 15 menit 58 detik dengan suhu wadah dalam kemasan sebesar 130C serta perubahan bobot tubuh ikan sebesar 0,10 gram dan tingkat kelangsungan hidupnya sebesar 83,33% terdapat pada perlakuan A dengan lama waktu 2,5 jam. 

Penulis : Tri Nugroho W., Peneliti LRMPHP

Senin, 23 Maret 2020

Jaga Kelestarian Perairan, KKP Restocking 2,7 Juta Benih Ikan Lokal

Restocking ikan (Foto : KKP)

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) terus berkomitmen untuk memproduksi benih ikan secara massal. Selain untuk memenuhi kebutuhan benih bagi pembudidaya, produksi benih juga dilakukan untuk menunjang kegiatan restocking ikan di danau, waduk maupun di perairan umum sebagai upaya menjaga kelestarian sumber daya ikan di alam.
Menurut data sementara, hingga pertengahan bulan Maret 2020 KKP telah melakukan restocking sebanyak 2,7 juta ekor benih ikan seperti nilem, tawes, papuyu, mas, kakap, bandeng, komoditas rajungan dan ikan lokal lainnya.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto menyatakan bahwa perikanan budidaya memilik peran yang penting untuk menjaga stok ikan di alam, terutama untuk komoditas ikan endemik lokal atau ikan yang tergolong langka.
“Kegiatan restocking telah menjadi agenda rutin KKP dan merupakan salah satu kegiatan yang menjadi prioritas. Selain untuk menjaga ketahanan pangan bagi masyarakat sekitar perairan umum, kegiatan ini juga bertujuan untuk mengembalikan fungsi dan peran perairan sebagai ekosistem yang seimbang di samping untuk meningkatkan pendapatan nelayan dari hasil tangkapan,” tambah Slamet.
Sebagai informasi, pada awal tahun 2020 ini kegiatan restocking benih ikan telah dilakukan di beberapa lokasi seperti di Kebumen, Pekalongan, Bandung Barat, Sukabumi, Cianjur, Pangandaran, Cirebon, Klaten, Maros, Solok, Minahasa, Takalar, Lamongan, dan Muara Enim.
Slamet menekankan “Kegiatan restocking yang dilakukan telah melalui kajian yang komprehensif agar ikan yang ditebar telah sesuai dengan habitat dan dengan ukuran yang sesuai. Selain itu tim teknis kami terus melakukan kegiatan perekayasaan untuk menguasai teknologi pembenihan, khususnya untuk ikan-ikan lokal.”
Slamet menilai, saat ini ikan lokal memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi dikarenakan banyaknya komoditas ikan endemik yang langka, bahkan hampir punah. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti penangkapan ikan secara berlebihan dan tidak terkontrol, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, serta pencemaran perairan akibat limbah rumah tangga.
KKP sebagai institusi teknis di sektor kelautan dan perikanan memiliki tanggungjawab untuk menjaga keseimbangan dan ketersediaan sumberdaya yang ada di perairan.
“Oleh karena itu, kepedulian masyarakat di sekitar perairan umum menjadi hal yang esensial untuk kelestarian ekosistem perairan umum tersebut. Kami terus melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah setempat, khususnya di daerah-daerah tempat kegiatan restocking dilakukan untuk dapat merancang regulasi daerah yang mengatur masyarakat untuk melakukan penangkapan ikan secara bertanggung jawab,” lanjut Slamet.
Dia mengaku, pihaknya akan terus mendorong upaya pelestarian ikan lokal di perairan umum seluruh Indonesia dengan menggandeng berbagai pihak, termasuk pelaku usaha pembenihan untuk ikut melestarikan perairan umum dengan turut melakukan restocking benih ikan lokal yang tidak infasif.
“Dengan sinergitas yang baik dan upaya maksimal dari berbagai elemen, niscaya keberlanjutan perairan umum yang kaya akan plasma nutfah akan terbentuk dengan sendirinya,” pungkas Slamet.
Untuk diketahui, pada tahun 2019 KKP telah melakukan restocking benih ikan dan udang sebanyak 13,45 juta ekor baik untuk komoditas tawar, payau maupun laut. Total target produksi benih pada tahun 2020 sebesar 215,7 juta ekor benih untuk memenuhi kebutuhan bantuan ke pembudidaya dan restocking.
Sumber : KKPNews

SI CANTIK YANG TAK TERGANTIKAN

Tahun 2020 Indonesia terus mengenjot produksi perikanan budidaya, termasuk di dalamnya adalah ikan hias. Tiap tahun terus muncul berbagai jenis ikan hias baru, baik spesies baru maupun varietas baru. Pada 2 tahun terakhir ini para pecinta ikan hias disemarakkan dengan konsep “aquascape” dengan berbagai jenis ikan hias ukuran kecil seperti geppy, molly, ikan sumatra, neon dan ikan ukuran kecil lainya. Pun demikian dengan jenis ikan hias predator masih banyak peminatnya seperti arwana, louhan, maru dan ikan predator lainya. Beberapa jenis ikan hias selalu muncul tengelam seiring minat dan kegemaran masyarakat yang sangat dinamis. Sebagai contoh ikan Lauhan yang banyak diminati di era tahun 2000, saat ini cenderung kurang diminati, meskipun masih banyak juga yang terus membudidayakan. 

Salah satu ikan hias yang sampai saat ini masih relatif stabil, baik harga, jumlah dan peminatnya adalah ikan Koi. Ikan Koi banyak diminati karena mempunyai warna yang beranekaragam, mempunyai jenis yang beragam serta dapat mencapai ukuran yang besar. Selain itu keindahan ikan Koi dapat dinikmati di alam terbuka, kolam dalam rumah, kolam luar rumah maupun akuarium. Pengembangan budidaya koi saat ini pun semakin berkembang, tidak hanya daerah tertentu seperti Blitar, Tulungagung, Bogor dan Sukabumi yang menjadi pusat budidaya. Sekarang hampir semua daerah di Indonesia mengembangkan jenis ikan hias ini yang bisa dilakukan secara individu maupun per kelompok. Hal lain yang menjadikan ikan Koi masih menjadi primadona adalah bervariasinya harga dari harga ribuan sampai ratusan juta per ekor. Sehingga semua kalangan bisa menikmati ikan hias ini. Di Indonesia jenis ikan koi yang paling diminati adalah Kohaku, Showa dan Sanke seperti ditunjukkan pada Gambar 1. 
Sumber : Kusrini, E., dkk., 2015 (Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias)
Gambar 1. Koi Kohaku (1, 5, 13), Showa (2, 6, 8, 14, 15) dan Sanke (4)

Beberapa penelitian tentang ikan Koi masih terus dikembangkan baik terkait dengan penelitian budidaya, pemijahan maupun penanganan dan transportasi ikan Koi. Metode pemijahan misalnya, penelitian Kusrini, dkk., yang disampaikan dalam Media Kultur tahun 2015 mengungkap bahwa pemijahan semi buatan lebih efektif dilakukan karena dapat meningkatkan produksi terutama derajat penetasan yang lebih tinggi. Keberhasilan pembenihan juga sangat dipengaruhi oleh pengelolaan induk yang baik, manajemen pemberian pakan yang optimal, serta pengelolaan lingkungan yang lebih terkontrol, sehingga akan memengaruhi kebugaran induk, kematangan gonad, dan kualitas telur yang akhirnya dapat meningkatkan produksi benih secara keseluruhan. 

Penelitian lain terkait dengan penanganan dan trasportasi benih Koi disampaikan oleh Sulmartiwi L, dkk., yang disampaikan dalam Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan pada tahun 2014. Penelitian tersebut menambahkan minyak atsiri pada pengangkutan koi sistem tertutup. Pemberian minyak atsiri daun Bandotan (A. conyzoides) berpengaruh terhadap SR, kadar glukosa darah, dan tachiventilasi pada benih ikan koi yang ditransportasikan secara tertutup. Dosis optimal pemberian minyak atsiri daun bandotan dalam proses transportasi benih ikan koi secara tertutup adalah 5 ppm.


Penulis : Tri Nugroho W., Peneliti LRMPHP