EKONOMI BIRU

Arah Kebijakan Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan 2021 - 2024 Berbasis EKONOMI BIRU

ZI WBK? Yes, We CAN

LRMPHP siap meneruskan pembangunan Zona Integritas menuju satuan kerja berpredikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) yang telah dimulai sejak tahun 2021. ZI WBK? Yes, We CAN.

LRMPHP ber-ZONA INTEGRITAS

Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan siap menerapkan Zona Integritas menuju satuan kerja berpredikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) 2021.

Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan

LRMPHP sebagai UPT Badan Riset dan SDM KP melaksanakan riset mekanisasi pengolahan hasil perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 81/2020

Tugas Pokok dan Fungsi

Melakukan tugas penelitian dan pengembangan strategis bidang mekanisasi proses hasil perikanan di bidang uji coba dan peningkatan skala teknologi pengolahan, serta rancang bangun alat dan mesin untuk peningkatan efisiensi penanganan dan pengolahan hasil perikanan

Produk Hasil Rancang Bangun LRMPHP

Lebih dari 30 peralatan hasil rancang bangun LRMPHP telah dihasilkan selama kurun waktu 2012-2021

Kerjasama Riset

Bahu membahu untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan dengan berlandaskan Ekonomi Biru

Sumber Daya Manusia

LRMPHP saat ini didukung oleh Sumber Daya Manusia sebanyak 20 orang dengan latar belakang sains dan engineering.

Kanal Pengelolaan Informasi LRMPHP

Diagram pengelolaan kanal informasi LRMPHP

Kamis, 11 Januari 2018

Optimalkan Sektor Perikanan, KKP Resmikan TPI Higienis dan Berikan Bantuan Bagi Nelayan Lampung

Komitmen pemerintah untuk menjaga kedaulatan laut Indonesia terus ditegakkan. Hal ini bertujuan untuk menjaga keberlanjutan sumber daya ikan tetap lestari agar kesejahteraan dan perekonomian nelayan terus menerus berkesinambungan. Untuk mendukung hal ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui  Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) meresmikan tempat pelelangan ikan (TPI) higienis di Pelabuhan Perikanan Lempasing, Lampung.

Bukan tanpa alasan, revitalisasi TPI higienis yang menelan biaya Rp 1,56 miliar ini bertujuan agar pasokan hasil perikanan tetap terjaga kualitasnya. TPI higienis ini juga menghapus kesan TPI yang kotor dan sanitasi yang kurang layak. Apabila produksi perikanan terjamin mutunya, maka harga yang diperoleh akan meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan.

TPI higienis ini diresmikan secara langsung oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Sjarief Widjaja, anggota komisi IV DPR RI Sudin, Sekretaris Daerah Provinsi Lampung Sutono, Walikota Bandar Lampung Herman Hasanusi, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung Toga Mahaji, Komandan Pangkalan TNI AL Lampung Kelik Haryadi, Direktur Kapal dan Alat Penangkapan Ikan Agus Suherman, Ketua DPD HNSI Provinsi Lampung Maszuki Yazid dan Wakil Pemimpin Wilayah BRI Lampung.

Dalam sambutannya, Sjarief menyebutkan TPI higienis ini merupakan salah satu bentuk perhatian pemerintah untuk mendukung denyut perikanan di Lampung. Dengan adanya TPI Higienis ini diharapkan akan dapat menghilangkan citra pelabuhan perikanan yang kumuh. Lebih utama lagi ikan dapat dikelola dan ditangani dengan baik sehingga kualitasnya tetap terjaga.

Dalam kesempatan yang sama, pemerintah juga menyalurkan bantuan berupa kapal perikanan sejumlah 96 unit berukuran <30 Gross Tonnage (GT). Selain itu juga memberikan bantuan alat penangkapan ikan ramah lingkungan sebanyak 310 paket berupa gillnet millenium dan trammelnet dengan sebaran Kota Bandar Lampung (32 paket), Kabupaten Lampung Selatan (35 paket), dan Kabupaten Lampung Timur (243 paket).

Bantuan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya peningkatan kesejahteraan nelayan. Lebih lanjut Sjarief menegaskan, hasil kerja keras tersebut, secara berturut-turut bukti ilmiah menunjukan bahwa potensi perikanan di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Tahun 2013 potensi perikanan kita tercatat sebesar 7,31 juta ton, tahun 2015 meningkat menjadi 9,93 juta ton dan hasil yang menggembirakan tercatat pada tahun 2016 menjadi 12,5 juta ton.

Sjarief menambahkan bantuan yang diberikan pemerintah tidak hanya menyentuh satu sisi saja namun juga menyeluruh. Tidak hanya bantuan sarana penangkapan ikan, pemerintah juga memberikan bantuan premi asuransi nelayan untuk 10.139 orang dengan total premi senilai Rp 1,77 miliar. Hadir pula 4 orang penerima klaim asuransi nelayan yang mendapatkan santunan sebesar Rp 160 juta akibat meninggal dunia dan 1 orang penerima santunan sebanyak Rp 200 juta akibat meninggal dunia di laut.

Besaran manfaat santunan asuransi nelayan akibat kecelakaan aktivitas penangkapan ikan hingga Rp200 juta apabila meninggal dunia, Rp100 juta apabila mengalami cacat tetap dan Rp20 juta untuk biaya pengobatan. Sedangkan jaminan santunan kecelakaan akibat selain aktivitas penangkapan ikan Rp160 juta apabila meninggal dunia, cacat tetap Rp100 juta dan biaya pengobatan Rp20 juta.

Di saat yang bersamaan, DJPT KKP juga menggandeng Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk fasilitasi pendanaan nelayan melalui gerai permodalan nelayan. Pemerintah senantiasa memberikan fasilitasi untuk membantu dan mempermudah akses permodalan nelayan dengan perbankan. Tercatat nilai realisasi kredit di Provinsi Lampung untuk nelayan sebesar Rp22,93 miliar dengan jumlah debitur mencapai 328 orang.

Sementara itu, anggota komisi IV DPR RI Sudin mengatakan pemerintah bersama DPR akan terus hadir untuk nelayan. Fasilitasi akan terus dilakukan dengan menggelar dialog, menampung beragam aspirasi untuk kita sampaikan ke pusat. Tentu saja hal ini tidak akan akan berhasil tanpa dukungan dari semua pihak terkait yang berkontribusi untuk kejayaan maritim Indonesia. (Humas DJPT)


Sumber : KKPNews

Jumat, 05 Januari 2018

AWALI 2018, LRMPHP AMBIL LANGKAH STRATEGIS DAN LAKUKAN REGENERASI

Mengawali pelaksanaan tahun anggaran 2018, Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan (LRMPHP) melaksanakan beberapa langkah strategis untuk pencapaian hasil terbaik. Setelah DIPA diterima pada pertengahan Desember 2017, Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa telah diumumkan melalui website SIRUP Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang beralamat di https://sirup.lkpp.go.id. Khusus untuk rekapitulasi di tingkat Kementerian Kelautan dan Perikanan dapat diakses melalui link: https://sirup.lkpp.go.id/sirup/home/rekapKldi?idKldi=K8.

RUP LRMPHP di website SIRUP LKPP

Langkah lain yang dilakukan yaitu konsolidasi pelaksanaan kegiatan riset sebagai core business LRMPHP. Mengingat hanya ada satu kegiatan riset yang dibebankan menjadi tugas LRMPHP, maka semua PNS yang terkait dengan riset dikonsolidasikan menjadi satu tim yang besar dan kokoh untuk pelaksanaan riset. Tim ini terdiri dari  6 orang peneliti muda, 1 orang peneliti pertama, 3 calon peneliti dan 2 orang teknisi. Sebetulnya masih ada dua orang peneliti lagi, yaitu 1 peneliti muda (Bakti B. Sedayu) dan 1 peneliti pertama (I Made Susi Erawan) yang sedang OFF melaksanakan tugas belajar.

Kick off meeting TA 2018

Di sisi lain, pada manajerial sebagai unsur pendukung pelaksanaan riset juga dilakukan penyegaran dan regenerasi. Afris Syahada ditunjuk sebagai koordinator Tata Usaha dan Nur Fitriana ditunjuk sebagai koordinator Tata Operasional. Dengan pengalaman di level sebelumnya selama beberapa tahun, penugasan sebagai koordinator merupakan tantangan yang baik.
Keseluruhan tersebut di atas merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi berbagai perubahan, termasuk regulasi terkait kepegawaian.

Serah terima manajerial Tata Operasional

Serah terima manajerial Tata Usaha

Kamis, 04 Januari 2018

Kebutuhan Lele DIY Tahun 2017 Mencapai 48.031 Ton/Tahun

Foto ilustrasi : kabartani.com
Lele merupakan salah satu komoditas perikanan air tawar yang menjadi primadona di DIY. Kendati bisnis dan budidaya lele mengalami pasang-surut, namun permintaan ikan jenis lele ini setiap tahunnya rata-rata cukup tinggi.

Hal itu tidak mengherankan, sebab secara kasat mata saja di DIY dari wilayah perkotaan hingga perdesaan, menjamur warung-warung makan yang menyediakan menu spesial pecel lele, yang setiap harinya membutuhkan pasokan ikan lele. Masyarakat sangat mudah menemukan warung-warung pecel lele yang berdiri di pinggir jalan dengan tenda. Selain itu, rumah-rumah makan pun banyak yang menyajikan menu berbahan baku ikan lele. Plt Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan DIY Dr Suwarman Partosuwiryo SPi mengakui, tingkat konsumsi ikan lele di wilayah DIY masih mendominasi dibandingkan dengan tingkat konsumsi ikan jenis lain. Pada tahun 2017, kebutuhan konsumsi ikan lele di DIY mencapai 48.031 ton atau sekitar 43 persen dari total keseluruhan kebutuhan ikan bagi masyarakat DIY. Jumlah tersebut dihitung dari kebutuhan konsumsi ikan masyarakat yang mencapai 111.700 ton atau setara dengan 31,31 kilogram perkapita pertahun.

Suwarman Partosuwiryo mengatakan, setiap tahunnya tingkat konsumsi ikan lele selalu meningkat, hal tersebut juga diikuti peningkatan hasil produksi dari peternak/pembudidaya lele di seluruh DIY. Peningkatannya cukup tinggi pada dua tahun terakhir. Pada tahun 2016 kebutuhan ikan lele sekitar 33.546 ton, sementara pada tahun 2017 meningkat menjadi 48.031 ton. Dikatakan, dari sisi produksi juga mengalami kenaikan dikarenakan tingkat budidaya serta pertumbuhan ikan lele sangat mudah dan cepat. Untuk mencukupi kebutuhan ikan lele tersebut, hamper 90 persen dapat dipenuhi oleh produksi ikan lele di DIY sendiri, sementara 10 persen kekurangannya para pedagang biasanya mendatangkan ikan dari daerah lain seperti Magelang dan Boyolali.

Dosen Departemen Perikanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Ir. Sukardi, M.P. menyatakan, meski kebutuhan konsumsi ikan lele di DIY cukup tinggi, mencapai 15 ton perhari, namun pemenuhannya masih mengandalkan suplai dari luar daerah, terutama Boyolali dan Jawa Timur. Hal ini disebabkan produksi ikan lele di DIY masih skala kecil, sehingga mempengaruhi pasokan.

Menurut Sukardi, para pengusaha restoran ataupun warung kaki lima dengan menu ikan lele perlu kontinuitas dan kepastian pasokan, sehingga mereka cenderung membeli dari suplier besar yang kebanyakan dari luar DIY. Kebanyakan produksi ikan lele di DIY masih dilakukan oleh rumah tangga secara sendiri-sendiri. Satu rumah biasanya hanya memiliki 2 kolam ukuran 50-100 meter persegi. Dengan masa pertumbuhan ikan lele selama 3 bulan hingga siap panen, maka satu orang hanya bisa memanen sekali dalam 1,5 bulan. Berbeda dengan produksi di Boyolali dan Jawa Timur, yang setiap orang bisa memiliki 30 kolam bahkan lebih sehingga tiap pekan mereka bisa panen lele. Budidaya lele di luar DIY juga sudah dilakukan secara kelompok, sehingga menghemat dalam pengadaan pakan dan biaya distribusi.

Dengan kondisi seperti ini, tak heran jika pembudidaya lele di DIY kesulitan memasarkan lele panenannya ke pasaran. Selain harganya kalah bersaing, para pengepul atau pengusaha restoran lebih memilih pasokan dari luar yang telah pasti dan kontinyu. Oleh sebab itu, menurut Sukardi, pemerintah melalui dinas terkait perlu memberikan kemudahan (modal) bagi pembudidaya lokal untuk mengembangkan usahanya (tambah kolam). Dengan begitu mereka bisa menyuplai pasar secara kontinyu.

Ikan lele banyak digemari, selain rasanya enak, kadungan protein dan Omega 3 juga tinggi sehingga bagus untuk pertumbuhan otak khususnya bagi anak-anak. Secara keseluruhan konsumsi ikan (laut/tawar) masyarakat DIY mencapai 24 kilogram perkapita pertahun. Untuk konsumsi ikan air tawar, paling banyak ikan lele. Ketua Kelompok Pembudidaya Ikan Kasihan Bantul WM Yunnus mengakui, saat ini pembudidaya ikan lele susah dalam menjual hasil budidayanya. Tengkulak sering main-main dan menekan harga lele konsumsi. Di pasar, harga lele mencapai Rp 23.000 perkilogram, padahal tengkulak membeli dari pembudidaya paling hanya Rp 14.000 perkilogram.

Pemilik Mina Abadhi Farm Janten RT 06 Ngestiharjo Kasihan Bantul itu mengungkapkan, tertekannya para pembudiaya ikan karena mereka tidak mau bersatu. Pemain baru maunya menjual sendiri-sendiri kepada pembeli. Akibatnya posisi tawar di depan tengkulak menjadi lemah. Dampaknya, banyak pembudidaya baru yang kemudian rontok tidak mau melanjutkan usahanya. Karena itu WM Junus mengajak para pembudidaya ikan untuk membentuk kelompok. Dalam kesatuan kelompok, tengkulak tidak bisa main-main. Menurut perkiraannya, DIY membutuhkan sekitar 12 ton ikan lele setiap harinya. Sedangkan produksi lokal DIY hanya mampu menyediakan 2 ton setiap hari. Untuk kebutuhan itu kemudian mendatangkan lele dari luar daerah seperti Tulungagung, Boyolali dan sebagainya. Karena itu, sebetulnya DIY butuh pembudidaya baru untuk memenuhi kebutuhan lele yang cukup tinggi tersebut.

Terkait hal itu pula, WM Junus bersama beberapa pihak akan menggelar Seminar Pemberdayaan Masyarakat untuk Ketahanan Pangan dalam Budidaya Ikan yang rencananya diadakan di Aula PT. BP. Kedaulatan Rakyat pada 27 Januari 2018. Untuk mengupas tuntas permasalahan seputar budidaya ikan termasuk lele, para narasumber berkompeten akan dihadirkan, seperti Dr. Suwarman Partosuwiryo, S.Pi. yang akan bicara tentang regulasi, dari Departemen Perikanan UGM Dr. Latif Sahubawa S.Pi. akan mengupas pascapanen, demikian pula Ir. Endang Suprapti dari Dinas Kelautan dan Perikanan DIY. Kemudian PT. Central Proteina Prima Wijaya Setiyawan akan bicara tentang pakan ikan, dan WM Junus sendiri akan berbagi pengalaman mengenai budidaya lele dan nila.

Sumber : Harian Kedaulatan Rakyat

Selasa, 02 Januari 2018

Tahun 2018 KKP Tetap Fokus Program Dukungan Langsung pada Pembudidaya Ikan

Dok. Humas DJPB
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tetap akan prioritaskan program dukungan langsung bagi pembudidaya ikan dalam pagu indikatif APBN TA. 2018 yang mencapai Rp 944,85 miliar. Dari angka tersebut sebagian besar diperuntukan untuk dukungan langsung kepada masyarakat pembudidaya ikan melalui program-program prioritas. Demikian disampaikan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto di Jakarta, Kamis (21/12).

Menurut Slamet, pembudidaya skala kecil harus distimulan agar mampu mengembangkan kapasitas usahanya. Bentuk dukungan tersebut, antara lain baik berupa fasilitasi kemudahan akses maupun bentuk dukungan langsung berupa input produksi. Ia juga memastikan bahwa dukungan seperti sarana produksi budidaya dan pakan mandiri telah melalui tahapan kajian yang berbasis pada penilaian kebutuhan di tingkat masyarakat.

Sebelumnya, Sekjen Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), Agung Sudaryono, menilai bantuan yang diberikan KKP kurang efektif untuk menciptakan pembudidaya yang mandiri.

Menanggapi hal tersebut, Slamet menilai sah sah saja memiliki persepsi yang berbeda. Namun Ia memastikan bahwa program yang diberikan telah tepat dan dirasakan langsung dampaknya oleh masyarakat. Namun demikian, kritik yang bersifat konstruktif akan jadi masukan bagi perbaikan ke depan. Ia juga menilai semua pihak punya tanggungjawab yang sama untuk membangun ekonomi pembudidaya. KKP konsisten agar alokasi anggaran bisa langsung dirasakan masyarakat. Bukan hanya bantuan langsung, KKP juga memberikan berbagai fasilitas untuk memudahkan akses terhadap pembiayaan dan perlindungan usaha.

Slamet mencontohkan, untuk mempermudah mengakses program pembiayaan, KKP telah mendorong sertifikasi hak atas tanah pembudidaya ikan. Begitupun untuk memberikan perlindungan usaha, KKP telah meluncurkan program asuransi bagi pembudidaya ikan kecil dan merupakan skema asuransi pertama di Indonesia.

“Jadi kalau KKP dikatakan hanya bagi bagi bantuan tanpa ada program pendukung, itu tidak benar. Khusus, dukungan seperti sarpras ini kan sifatnya hanya stimulan saja. Nantinya diharapkan yang berhasil ini akan menularkan keberhasilannya kepada pembudidaya lain. Memang ada beberapa yang kurang berhasil, namun dipastikan apa yang KKP berikan berdampak positif terhadap ekonomi masyarakat dan nasional dan ini dibuktikan dengan data yang ada,” jelas Slamet.

Menurutnya efektif tidaknya program dapat dilihat dari indikator dampak yang dilihat. “Program 2018 itu kan mengacu dari pertimbangan kinerja tahun ini. Hasil kajian dan berdasarkan data yang ada menunjukkan bahwa program ini memberikan efek positif baik secara makro maupun mikro ekonomi,” imbuhnya. (Humas DJPB)


Sumber : KKPNews

Rabu, 27 Desember 2017

Riset Kelautan Mulai Digelar 2020 hingga 2035

Foto Ilustrasi : Aktivitas Nelayan di Pantai Sadeng
Pemerintah Indonesia fokus mengembangkan riset kelautan untuk mendukung pemetaan wilayah laut lebih mendalam. Salah satu target yang ingin dikejar, adalah membangun teknologi kelautan yang hingga kini belum dimiliki Indonesia. Langkah untuk mengejar target tersebut, adalah dengan fokus mengembangkan riset kelautan di berbagai sektor.

Di antara yang terlibat dalam riset kelautan, adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Lembaga riset Negara itu, kini mengejar momen 2035 sebagai tahun kebangkitan riset kelautan nasional. Untuk melangkah ke sana, LIPI menggelar program foresight riset kelautan dan program demand driven research grant (DDRG). Kedua program tersebut, seperti dijelaskan Kepala Pusat Oseanografi LIPI Dirhamsyah, mendapat dukungan penuh dari program Coral Reef Rehabilitation and Management Program – Coral Triangle Initiative (COREMAP-CTI).

Agar visi nasional tersebut bisa berjalan, Dirhamsyah mengatakan, perlu dilakukan pengembangan teknologi bidang kelautan dengan mengkajinya melalui foresight riset dan teknologi kelautan Indonesia. Dengan cara tersebut, potensi sumber daya laut Indonesia yang selama ini tersimpan dan belum terbaca dengan baik, bisa diangkat ke permukaan.

Dirhamsyah menjelaskan, program riset digelar LIPI, karena sebagai lembaga riset Negara, pihaknya melihat hingga saat ini teknologi bidang kelautan Indonesia masih juga belum tersedia. Meskipun, sebenarnya sudah ada perencanaan menjadikan Indonesia sebagai negara poros maritim di dunia.

Program riset akan berjalan dari 2020 hingga 2035 mendatang atau selama 15 tahun. Selama riset berjalan, pendanaan akan dilakukan DDRG yang mendukung dan memberikan dana hibah penelitian dengan pendekatan manajemen riset berdasarkan orientasi pemangku kepentingan. Dengan kata lain, menurut Dirhamsyah, program DDRG adalah pendekatan riset yang secara khusus diarahkan untuk menyelesaikan masalah (problem based). Oleh itu, DDRG hadir berdasarkan pada permintaan atau kebutuhan terhadap suatu riset. Sementara, permintaan atau kebutuhan riset didasarkan pada permasalahan yang sedang dihadapi.

Dengan menggunakan dasar orientasi tersebut, Dirhamsyah meyakini DDRG bisa digunakan untuk mendanai riset yang diharapkan menghasilkan luaran-luaran yang implementatif, siap pakai dan berdampak nyata. Untuk itu, program riset akan menggunakan pendekatan dengan mengubah dari pola output based menjadi value based outcome.

Dokumen Foresight

Dirhamsyah melanjutkan, untuk bisa membuat dokumen foresight, pihaknya harus melakukan pencarian dan refleksi dari isu-isu terkini dan relevan, tantangan, dan riset strategis di masa depan. Semua itu, kata dia, digali dari berbagai sumber, termasuk di dalamnya adalah acuan global di sektor kelautan masa depan di negara maju, kerangka kebijakan nasional seperti Poros Maritim Indonesia 2045, Rencana Induk Riset Nasional 2017-2045 dan sejumlah dokumen riset lainnya.

Untuk menghasilkan dokumen foresight, Peneliti P2O LIPI Aan Johan Wahyudi mengatakan, diperlukan waktu selama enam bulan dengan melibatkan para pakar kelautan nasional yang jumlahnya lebih dari 50 orang. Tujuan dari pembuatan dokumen adalah untuk memetakan isu dan tantangan di sektor kelautan nasional dan internasional. Sebelum menggelar program foresight pada yang akan dilaksanakan mulai 2020 mendatang, LIPI sebenarnya sudah pernah merencanakan program serupa dan dibuat pada 2008. Namun, menurut Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI Zainal Arifin, rencana yang dibuat sembilan tahun lalu itu, dengan berbagai alasan akhirnya tidak jadi dilaksanakan.

Zainal mengatakan, meski sebelumnya LIPI belum pernah menggelar foresight, namun program tersebut mendesak untuk digulirkan sekarang. Terutama, karena riset kelautan saat ini sangat dibutuhkan untuk membangun peta pengembangan teknologi kelautan. Menurut Zainal, pemilihan waktu riset yang berjalan selama 15 tahun, karena didasarkan pada pertimbangan bahwa foresight adalah program jangka panjang. Denga kata lain, foresight dibuat dengan ideal tapi tetap memperhatikan kemampuan Indonesia.

Dengan adanya foresight yang berfokus pada isu kelautan, Zainal menyebut itu akan mendukung program konsorsium riset samudera yang diinisiasi oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas). Konsorsium sendiri, kata dia, adalah program riset yang akan dilaksanakan oleh berbagai instansi lintas batas di Indonesia dengan berfokus pada masing-masing bahasan.

Dana Riset

Berkaitan dengan pendanaan riset, Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka menjelaskan, Indonesia adalah salah satu negara yang tertinggal dalam pengembangan riset. Penyebab utamanya, karena pendanaan untuk program riset hingga saat ini baru mencapai 0,25 persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional. Rieke mengatakan, hingga saat ini riset di Indonesia masih belum dinilai sebagai program yang penting dan utama. Itu sebabnya, anggaran untuk riset juga masih kecil dan tertinggal jauh dari negara lain. Menurut dia, sudah seharusnya industri di Indonesia menjadikan riset sebagai patokan dalam membuat program.

Rieke menambahkan bahwa riset harus jadi yang utama, bukan lagi berdasarkan asumsi. Setiap program harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, harus sesuai kebutuhan dengan masyarakat. Jika itu sudah terjadi, maka politik anggaran untuk riset akan menentukan kemana pembangunan akan diarahkan. Kita sekarang ditantang untuk bisa menaikkan anggaran riset secara nasional. Tantangan itu harus dijawab baik, karena Indonesia pada 1960 pernah mendeklarasikan diri akan menjadi negara industri berbasis riset. Karenanya, saat itu anggaran riset sudah mencapai 1,1 persen dari jumlah investasi saat itu sebesar Rp 240 miliar.


Sumber : http://www.mongabay.co.id

Selasa, 19 Desember 2017

KKP Sosialisasikan Program Kerja Tahun 2018

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bersama jajaran pejabat Eselon I Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam acara sosialisasi program KKP tahun 2018. Dok. Humas KKP/Regina Safri
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyelenggarakan Sosialisasi Program KKP Tahun 2018 di Ballroom KKP. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka transparansi dan untuk meningkatkan partisipasi para penyedia barang dan jasa dalam pelaksanaan proyek-proyek melalui APBN KKP tahun 2018. Acara ini dihadiri sebanyak 500 peserta dari para penyedia barang dan jasa bidang kelautan dan perikanan (KP) yang terdiri atas penyedia jasa konstruksi, jasa konsultasi, penyedia barang dan jasa lainnya.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti menekankan agar dalam pengadaan barang dan jasa tidak ada unsur Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), salah satunya, melalui penyelenggaraan pelelangan secara terbuka. Hal ini dapat membantu meminimalisasi terjadinya pemilihan pemenang lelang berdasarkan hubungan keluarga atau kerabat. 

Berkembangnya metode komunikasi di era digital dan tersedianya media sosial ini menjadikan masyarakat sebagai partisipan aktif dalam melaporkan dan sulitnya menyembunyikan informasi khususnya terkait pengadaan barang dan jasa di ranah pemerintahan. Menteri Susi mengaku tidak akan membiarkan perusahaan fiktif menjadi pemenang lelang pada pengadaan barang dan jasa di KKP.

Untuk itu, Menteri Susi sengaja mengundang para penyedia barang dan jasa baik dari BUMN maupun swasta agar bisa memahami kebutuhan KKP pada pengadaan barang dan jasa 2018 mendatang. Para penyedia barang dan jasa ini juga diajak turut serta untuk melaksanakan APBN KKP secara good governance, agar semua dilakukan sesuai dengan ketentuan berlaku sesuai dengan ketentuan Perpres 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang atau jasa pemerintah.

Menteri Susi menyadari bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan amanah dari rakyat dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan bangsa Indonesia. Ia menyadari bahwa anggaran yang tidak digunakan secara efektif dan efisien menjadi salah satu alasan membengkaknya hutang negara. Kurangnya efisiensi dan efektivitas dalam pengadaan barang dan jasa seperti banyaknya rapat atau Focus Group Discussion (FGD), belanja barang fiktif, penurunan kualitas, nepotisme pada pengadaannya.

Adapun APBN KKP pada 2018 sebanyak Rp 7,28 triliun. Di mana sekitar 70 persen dari total anggaran APBN KKP pada 2018 akan digunakan untuk kepentingan stakeholders dan pelayanan publik. APBN KKP pada 2018 bila dibandingkan dengan pagu anggaran pada 2017 sebesar Rp 9,13 triliun ini mengalami penurunan sebanyak 20,26 persen.

Di sela kegiatan, Menteri Susi turut menyerahkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2018 dan kepada para pejabat Eselon I berpesan agar pelaksanaannya dapat dilakukan lebih awal. Beberapa direktorat bahkan mulai melaksanakan programnya sejak pekan keempat Desember 2017.

Sebagai informasi, kegiatan Sosialisasi Program KKP tahun 2018 kepada para penyedia barang dan jasa bidang KP ini merupakan pertama kalinya dilakukan di KKP.

Sumber : KKPNews

Kamis, 14 Desember 2017

Peneliti LRMPHP Menjadi Instruktur Kegiatan Pelatihan Kewirausahaan

Pemaparan materi teknis penanganan ikan segar (dok. LRMPHP)
Peneliti LRMPHP (Putri Wullandari, M.Sc) menjadi salah satu instruktur kegiatan pelatihan kewirausahaan di Beji, Sumberagung, Jetis, Bantul pada tanggal 12 Desember 2017. Selain perwakilan dari LRMPHP, kegiatan yang dibuka oleh Camat Jetis tersebut juga  menghadirkan narasumber dari DPRD Bantul dan pelaku usaha. Kegiatan pelatihan kewirausahaan yang diselenggarakan oleh Kecamatan Jetis tersebut merupakan salah satu upaya dalam rangka mewujudkan masyarakat Kabupaten Bantul yang sehat, cerdas dan sejahtera.

Materi pelatihan yang disampaikan oleh perwakilan LRMPHP adalah tentang teknis penanganan ikan segar. Dalam paparannya dijelaskan bahwa produk perikanan merupakan salah satu produk yang memiliki kandungan protein cukup tinggi, namun demikian ikan mudah rusak sehingga perlu penanganan untuk menjaga mutunya. Salah satu penanganan yang dapat dilakukan adalah dengan pendinginan. Sebelum diolah ikan tetap dijaga suhunya tetap dingin menggunakan es batu atau dimasukkan dalam lemari es.

Selain narasumber dari LRMPHP, narasumber lain dari DPRD Bantul memaparkan tentang dukungan kebijakan pengembangan kewirausahaan di wilayah Kabupaten Jetis, sedangkan narasumber dari pelaku usaha mamaparkan tentang teori dan praktek kewirausahaan.