Kamis, 04 Januari 2018

Kebutuhan Lele DIY Tahun 2017 Mencapai 48.031 Ton/Tahun

Foto ilustrasi : kabartani.com
Lele merupakan salah satu komoditas perikanan air tawar yang menjadi primadona di DIY. Kendati bisnis dan budidaya lele mengalami pasang-surut, namun permintaan ikan jenis lele ini setiap tahunnya rata-rata cukup tinggi.

Hal itu tidak mengherankan, sebab secara kasat mata saja di DIY dari wilayah perkotaan hingga perdesaan, menjamur warung-warung makan yang menyediakan menu spesial pecel lele, yang setiap harinya membutuhkan pasokan ikan lele. Masyarakat sangat mudah menemukan warung-warung pecel lele yang berdiri di pinggir jalan dengan tenda. Selain itu, rumah-rumah makan pun banyak yang menyajikan menu berbahan baku ikan lele. Plt Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan DIY Dr Suwarman Partosuwiryo SPi mengakui, tingkat konsumsi ikan lele di wilayah DIY masih mendominasi dibandingkan dengan tingkat konsumsi ikan jenis lain. Pada tahun 2017, kebutuhan konsumsi ikan lele di DIY mencapai 48.031 ton atau sekitar 43 persen dari total keseluruhan kebutuhan ikan bagi masyarakat DIY. Jumlah tersebut dihitung dari kebutuhan konsumsi ikan masyarakat yang mencapai 111.700 ton atau setara dengan 31,31 kilogram perkapita pertahun.

Suwarman Partosuwiryo mengatakan, setiap tahunnya tingkat konsumsi ikan lele selalu meningkat, hal tersebut juga diikuti peningkatan hasil produksi dari peternak/pembudidaya lele di seluruh DIY. Peningkatannya cukup tinggi pada dua tahun terakhir. Pada tahun 2016 kebutuhan ikan lele sekitar 33.546 ton, sementara pada tahun 2017 meningkat menjadi 48.031 ton. Dikatakan, dari sisi produksi juga mengalami kenaikan dikarenakan tingkat budidaya serta pertumbuhan ikan lele sangat mudah dan cepat. Untuk mencukupi kebutuhan ikan lele tersebut, hamper 90 persen dapat dipenuhi oleh produksi ikan lele di DIY sendiri, sementara 10 persen kekurangannya para pedagang biasanya mendatangkan ikan dari daerah lain seperti Magelang dan Boyolali.

Dosen Departemen Perikanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Ir. Sukardi, M.P. menyatakan, meski kebutuhan konsumsi ikan lele di DIY cukup tinggi, mencapai 15 ton perhari, namun pemenuhannya masih mengandalkan suplai dari luar daerah, terutama Boyolali dan Jawa Timur. Hal ini disebabkan produksi ikan lele di DIY masih skala kecil, sehingga mempengaruhi pasokan.

Menurut Sukardi, para pengusaha restoran ataupun warung kaki lima dengan menu ikan lele perlu kontinuitas dan kepastian pasokan, sehingga mereka cenderung membeli dari suplier besar yang kebanyakan dari luar DIY. Kebanyakan produksi ikan lele di DIY masih dilakukan oleh rumah tangga secara sendiri-sendiri. Satu rumah biasanya hanya memiliki 2 kolam ukuran 50-100 meter persegi. Dengan masa pertumbuhan ikan lele selama 3 bulan hingga siap panen, maka satu orang hanya bisa memanen sekali dalam 1,5 bulan. Berbeda dengan produksi di Boyolali dan Jawa Timur, yang setiap orang bisa memiliki 30 kolam bahkan lebih sehingga tiap pekan mereka bisa panen lele. Budidaya lele di luar DIY juga sudah dilakukan secara kelompok, sehingga menghemat dalam pengadaan pakan dan biaya distribusi.

Dengan kondisi seperti ini, tak heran jika pembudidaya lele di DIY kesulitan memasarkan lele panenannya ke pasaran. Selain harganya kalah bersaing, para pengepul atau pengusaha restoran lebih memilih pasokan dari luar yang telah pasti dan kontinyu. Oleh sebab itu, menurut Sukardi, pemerintah melalui dinas terkait perlu memberikan kemudahan (modal) bagi pembudidaya lokal untuk mengembangkan usahanya (tambah kolam). Dengan begitu mereka bisa menyuplai pasar secara kontinyu.

Ikan lele banyak digemari, selain rasanya enak, kadungan protein dan Omega 3 juga tinggi sehingga bagus untuk pertumbuhan otak khususnya bagi anak-anak. Secara keseluruhan konsumsi ikan (laut/tawar) masyarakat DIY mencapai 24 kilogram perkapita pertahun. Untuk konsumsi ikan air tawar, paling banyak ikan lele. Ketua Kelompok Pembudidaya Ikan Kasihan Bantul WM Yunnus mengakui, saat ini pembudidaya ikan lele susah dalam menjual hasil budidayanya. Tengkulak sering main-main dan menekan harga lele konsumsi. Di pasar, harga lele mencapai Rp 23.000 perkilogram, padahal tengkulak membeli dari pembudidaya paling hanya Rp 14.000 perkilogram.

Pemilik Mina Abadhi Farm Janten RT 06 Ngestiharjo Kasihan Bantul itu mengungkapkan, tertekannya para pembudiaya ikan karena mereka tidak mau bersatu. Pemain baru maunya menjual sendiri-sendiri kepada pembeli. Akibatnya posisi tawar di depan tengkulak menjadi lemah. Dampaknya, banyak pembudidaya baru yang kemudian rontok tidak mau melanjutkan usahanya. Karena itu WM Junus mengajak para pembudidaya ikan untuk membentuk kelompok. Dalam kesatuan kelompok, tengkulak tidak bisa main-main. Menurut perkiraannya, DIY membutuhkan sekitar 12 ton ikan lele setiap harinya. Sedangkan produksi lokal DIY hanya mampu menyediakan 2 ton setiap hari. Untuk kebutuhan itu kemudian mendatangkan lele dari luar daerah seperti Tulungagung, Boyolali dan sebagainya. Karena itu, sebetulnya DIY butuh pembudidaya baru untuk memenuhi kebutuhan lele yang cukup tinggi tersebut.

Terkait hal itu pula, WM Junus bersama beberapa pihak akan menggelar Seminar Pemberdayaan Masyarakat untuk Ketahanan Pangan dalam Budidaya Ikan yang rencananya diadakan di Aula PT. BP. Kedaulatan Rakyat pada 27 Januari 2018. Untuk mengupas tuntas permasalahan seputar budidaya ikan termasuk lele, para narasumber berkompeten akan dihadirkan, seperti Dr. Suwarman Partosuwiryo, S.Pi. yang akan bicara tentang regulasi, dari Departemen Perikanan UGM Dr. Latif Sahubawa S.Pi. akan mengupas pascapanen, demikian pula Ir. Endang Suprapti dari Dinas Kelautan dan Perikanan DIY. Kemudian PT. Central Proteina Prima Wijaya Setiyawan akan bicara tentang pakan ikan, dan WM Junus sendiri akan berbagi pengalaman mengenai budidaya lele dan nila.

Sumber : Harian Kedaulatan Rakyat

0 comments:

Posting Komentar