Rabu, 27 Desember 2017

Riset Kelautan Mulai Digelar 2020 hingga 2035

Foto Ilustrasi : Aktivitas Nelayan di Pantai Sadeng
Pemerintah Indonesia fokus mengembangkan riset kelautan untuk mendukung pemetaan wilayah laut lebih mendalam. Salah satu target yang ingin dikejar, adalah membangun teknologi kelautan yang hingga kini belum dimiliki Indonesia. Langkah untuk mengejar target tersebut, adalah dengan fokus mengembangkan riset kelautan di berbagai sektor.

Di antara yang terlibat dalam riset kelautan, adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Lembaga riset Negara itu, kini mengejar momen 2035 sebagai tahun kebangkitan riset kelautan nasional. Untuk melangkah ke sana, LIPI menggelar program foresight riset kelautan dan program demand driven research grant (DDRG). Kedua program tersebut, seperti dijelaskan Kepala Pusat Oseanografi LIPI Dirhamsyah, mendapat dukungan penuh dari program Coral Reef Rehabilitation and Management Program – Coral Triangle Initiative (COREMAP-CTI).

Agar visi nasional tersebut bisa berjalan, Dirhamsyah mengatakan, perlu dilakukan pengembangan teknologi bidang kelautan dengan mengkajinya melalui foresight riset dan teknologi kelautan Indonesia. Dengan cara tersebut, potensi sumber daya laut Indonesia yang selama ini tersimpan dan belum terbaca dengan baik, bisa diangkat ke permukaan.

Dirhamsyah menjelaskan, program riset digelar LIPI, karena sebagai lembaga riset Negara, pihaknya melihat hingga saat ini teknologi bidang kelautan Indonesia masih juga belum tersedia. Meskipun, sebenarnya sudah ada perencanaan menjadikan Indonesia sebagai negara poros maritim di dunia.

Program riset akan berjalan dari 2020 hingga 2035 mendatang atau selama 15 tahun. Selama riset berjalan, pendanaan akan dilakukan DDRG yang mendukung dan memberikan dana hibah penelitian dengan pendekatan manajemen riset berdasarkan orientasi pemangku kepentingan. Dengan kata lain, menurut Dirhamsyah, program DDRG adalah pendekatan riset yang secara khusus diarahkan untuk menyelesaikan masalah (problem based). Oleh itu, DDRG hadir berdasarkan pada permintaan atau kebutuhan terhadap suatu riset. Sementara, permintaan atau kebutuhan riset didasarkan pada permasalahan yang sedang dihadapi.

Dengan menggunakan dasar orientasi tersebut, Dirhamsyah meyakini DDRG bisa digunakan untuk mendanai riset yang diharapkan menghasilkan luaran-luaran yang implementatif, siap pakai dan berdampak nyata. Untuk itu, program riset akan menggunakan pendekatan dengan mengubah dari pola output based menjadi value based outcome.

Dokumen Foresight

Dirhamsyah melanjutkan, untuk bisa membuat dokumen foresight, pihaknya harus melakukan pencarian dan refleksi dari isu-isu terkini dan relevan, tantangan, dan riset strategis di masa depan. Semua itu, kata dia, digali dari berbagai sumber, termasuk di dalamnya adalah acuan global di sektor kelautan masa depan di negara maju, kerangka kebijakan nasional seperti Poros Maritim Indonesia 2045, Rencana Induk Riset Nasional 2017-2045 dan sejumlah dokumen riset lainnya.

Untuk menghasilkan dokumen foresight, Peneliti P2O LIPI Aan Johan Wahyudi mengatakan, diperlukan waktu selama enam bulan dengan melibatkan para pakar kelautan nasional yang jumlahnya lebih dari 50 orang. Tujuan dari pembuatan dokumen adalah untuk memetakan isu dan tantangan di sektor kelautan nasional dan internasional. Sebelum menggelar program foresight pada yang akan dilaksanakan mulai 2020 mendatang, LIPI sebenarnya sudah pernah merencanakan program serupa dan dibuat pada 2008. Namun, menurut Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI Zainal Arifin, rencana yang dibuat sembilan tahun lalu itu, dengan berbagai alasan akhirnya tidak jadi dilaksanakan.

Zainal mengatakan, meski sebelumnya LIPI belum pernah menggelar foresight, namun program tersebut mendesak untuk digulirkan sekarang. Terutama, karena riset kelautan saat ini sangat dibutuhkan untuk membangun peta pengembangan teknologi kelautan. Menurut Zainal, pemilihan waktu riset yang berjalan selama 15 tahun, karena didasarkan pada pertimbangan bahwa foresight adalah program jangka panjang. Denga kata lain, foresight dibuat dengan ideal tapi tetap memperhatikan kemampuan Indonesia.

Dengan adanya foresight yang berfokus pada isu kelautan, Zainal menyebut itu akan mendukung program konsorsium riset samudera yang diinisiasi oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas). Konsorsium sendiri, kata dia, adalah program riset yang akan dilaksanakan oleh berbagai instansi lintas batas di Indonesia dengan berfokus pada masing-masing bahasan.

Dana Riset

Berkaitan dengan pendanaan riset, Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka menjelaskan, Indonesia adalah salah satu negara yang tertinggal dalam pengembangan riset. Penyebab utamanya, karena pendanaan untuk program riset hingga saat ini baru mencapai 0,25 persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional. Rieke mengatakan, hingga saat ini riset di Indonesia masih belum dinilai sebagai program yang penting dan utama. Itu sebabnya, anggaran untuk riset juga masih kecil dan tertinggal jauh dari negara lain. Menurut dia, sudah seharusnya industri di Indonesia menjadikan riset sebagai patokan dalam membuat program.

Rieke menambahkan bahwa riset harus jadi yang utama, bukan lagi berdasarkan asumsi. Setiap program harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, harus sesuai kebutuhan dengan masyarakat. Jika itu sudah terjadi, maka politik anggaran untuk riset akan menentukan kemana pembangunan akan diarahkan. Kita sekarang ditantang untuk bisa menaikkan anggaran riset secara nasional. Tantangan itu harus dijawab baik, karena Indonesia pada 1960 pernah mendeklarasikan diri akan menjadi negara industri berbasis riset. Karenanya, saat itu anggaran riset sudah mencapai 1,1 persen dari jumlah investasi saat itu sebesar Rp 240 miliar.


Sumber : http://www.mongabay.co.id

0 comments:

Posting Komentar