|
Ilustrasi (sumber : ANTARA FOTO/Edy Regar/im/aww/16) |
JAKARTA (13/9) – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) terus melakukan upaya pencegahan dan pengendalian atas penyebab kematian ikan massal yang terjadi di Danau Toba beberapa waktu lalu.
Kepala BRSDM KKP, Sjarief Widjaja mengungkapkan cuaca ekstrem telah memicu upwelling, yang menyebabkan pasokan oksigen ikan berkurang secara drastis. Hal tersebut berimbas pada rusaknya suhu air di Danau Toba. Upwelling atau umbalan merupakan fenomena di mana kondisi perairan yang lebih dingin dari biasanya.
“Jadi, pergerakan massa air secara vertikal ini membawa nutrien dan partikel-partikel dari dasar perairan ke permukaan, dan ini menyebabkan pasokan oksigen untuk ikan menjadi berkurang, apalagi lokasi KJA (Keramba Jaring Apung) cukup dangkal dan substratnya belumpur. Di samping itu, jika kami lihat, ternyata kepadatan ikan dalam KJA juga terlalu tinggi, sehingga sangat mengganggu sirkulasi oksigen,” ungkap Sjarief dalam gelaran konferensi pers di Jakarta pada Rabu (13/9).
“Kita juga pelajari curah hujannya, kita pelajari kapan musim kemaraunya, kapan musim penghujannya. Sehingga kita putuskan bagaimana pengendalian KJA ini. KJA idealnya di atas 50 meter. Baru perputaran airnya sehat. Ternyata dangkal,” tambahnya.
“Jadi KJA ini paling aman diopereasikan antara bulan Januari sampa dengan Juni, dan setelah itu diistirahakan mengingat resiko upwelling/umbalan tertinggi pada Agustus hingga September," lanjut Sjarief.
Fenomena kematian ikan massal pada tahun ini dialami oleh sekitar 18 kepala keluarga, sedangkan total jumlah ikan mati diperkirakan mencapai 200 ton dengan taksiran kerugian diperkirakan sedikitnya Rp 2,7 miliar (asumsi harga ikan Rp 15.000 per kilogram).
Saat ini, KKP merekomendasikan untuk sementara waktu aktivitas KJA dihentikan terlebih dahulu sekitar dua bulan, agar perairan bisa me-recovery kondisinya seperti semula. “Ya paling tidak dua bulan ke depan, kami imbau masyarakat menghentikan sementara waktu aktivitas budi dayanya, hingga perairan kembali stabil,” pungkasnya.
Selain itu, BRSDM juga telah mengeluarkan rekomendasi berupa kalender ‘Prediksi Kematian Massal Ikan’ dan skema ‘Alur Penanganan Kematian Massal Ikan’, yang berisikan data dan informasi penyebab kematian massal ikan di KJA, termasuk upaya penanggulangannya sebagai bagian upaya pencegahan dan pengendalian peristiwa kematian massal ikan agar tidak kembali terjadi.
“Kalender prediksi dan skema alur penanganan ini dapat membangun kesadaran pembudidaya dan para pengambil kebijakan untuk tidak menganggap sepele setiap kasus kematian massal ikan,” terang Sjarief.
Kalender Prediksi Kematian Massal
Kepala Pusat Riset Perikanan BRSDM KKP Toni Ruchimat mengatakan, berdasarkan hasil penelitian di lapangan, terdapat tiga kategori dalam kalender Prediksi Kematian Massal yang patut dicermati, yakni kategori aman, waspada dan bahaya.
“Pada kategori aman, para pembudidaya KJA dapat melakukan kegiatan budidaya sesuai dengan standar dan daya dukung serta zonasi yang telah dilakukan. Sedangkan pada kategori waspada, para pembudidaya KJA di minta untuk mengurangi pemberian pakan, kurangi padat tebar ikan dalam KJA, memperhatikan perubahan kondisi lingkungan perairan, hingga melakukan panen lebih awal,” tutur Toni.
Disamping itu, lanjut Toni, terdapat peringatan dini yang harus dicermati para pembudidaya KJA, yakni jika temperatur air di KJA rendah, oksigen terlarut rendah (< 3mg/L), angin dan mendung sepanjang hari, serta terjadi hujan lebat terus menerus, maka dipastikan akan memasuki kategori bahaya.
“Memasuki kategori bahaya, seluruh pembudidaya diminta untuk melakukan pemanenan ikan yang siap panen, menghentikan kegiatan budidaya, memelihara ikan yang tahan terhadap kondisi perairan yang jelek, penambahan aerasi,serta relokasi KJA ke lokasi yang lebih dalam,” jelasnya.
Bersamaan dengan kalender prediksi kematian massal, BRSDM juga memiliki skema alur penanganan kematian massal ikan di KJA sebagai cara penanganan kematian massal ikan di KJA.
Pemanfaatan Eceng Gondok untuk Perbaiki Kualitas Air
Untuk mengoptimalkan upaya pencegahan dan pengendalian kematian massal ikan KJA di perairan danau atau waduk, KKP memiliki rekomendasi, diantaranya dengan penggunaan eceng gondok unuk memperbaiki kualitas air. Hal ini dikarenakan eceng gondok memiliki kemampuan menyerap logam berat dan residu pestisida. Akar dari tumbuhan eceng gondok (Eichhornia crassipes) mempunyai sifat biologis sebagai penyaring air yang tercemar oleh berbagai bahan kimia buatan industri.
Pembudidaya juga dapat menggunakan hasil penelitian KKP berupa Buoy Pluto untuk peringatan dini pencemaran perairan. Buoy Pluto merupakan alat pemantau kualitas air yang dapat diakses melalui internet (sistem telemetri). Dengan alat ini, para pembudidaya dapat memahami dan membaca keadaan lingkungan penyebab umbalan.
Selain itu, KKP juga memiliki KJA Sistem Manajemen Air dengan Resirkulasi dan Tanaman (SMART) yang merupakan sistem budidaya KJA dengan meminimalisir masukan bahan pencemar organik yang berasal dari pakan yang terbuang dari limbah budidaya KJA. KJA SMART memadukan sistem semi resirkulasi, akuaponik dan filtrasi fisik. Dengan menerapkan KJA SMART, diharapkan dapat menjadi solusi terhadap perbaikan dan konservasi perairan.
Untuk mengurangi dampak negatif pakan yang tidak termakan ikan budidaya, dapat dilakukan dengan menerapkan budidaya ikan dalam KJA ganda, karena ikan yang dipelihara dalam jaring lapisan kedua (bagian luar) tidak diberi makan dan hanya mengandalkan makanan yang tidak termakan ikan utama yang dipelihara dalam jaring lapisan kesatu (bagian dalam).
Disamping itu, peningkatan produksi perairan umum juga dapat dilakukan melalui Culture-Based Fisheries (CBF). Program CBF memiliki manfaat untuk menjaga lingkungan dan kualitas air danau atau waduk serta meningkatkan ekonomi nelayan lokal.
Sumber : Siaran Pers KKP oleh Lilly Aprilya Pregiwati Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Luar Negeri