|
Ilustrasi (tambakudang.com) |
Penelitian dan riset terbaru yang dilakukan oleh Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau dan Penyuluhan Perikanan (BRPBAP3) Maros – Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan bahwa mangrove (bakau) dapat digunakan sebagai obat penawar penyakit pada hewan udang.
Penelitian bertajuk ‘Herbal Mangrove sebagai Alternatif Pencegah Penyakit Udang’ oleh diprakarsai oleh Peneliti BRPBAP3 dikepalai oleh Muliani beserta timnya. Penggunaan tanaman bakau sebagai bahan dasar alternatif pencegahan penyakit udang dianggap lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan antibiotik.
Penelitian ini sendiri diawali pada tahun 2013 dengan melakukan screening tanaman bakau sebagai penghasil antibakteri. Sebanyak 182 sampel bakau untuk kebutuhan screening diambil dari berbagai daerah di Indonesia.
Penelitian ini tentu akan membantu langkah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mengajak kegiatan berwirausaha di bidang Kelautan dan Perikanan untuk menambah stok pangan yang berasal dari produk laut.
“Dari 182 sampel yang di-screening, 103 sampel atau 56,60% positif mengandung anti vibrio harveyi. Adapun jenis mangrove yang paling potensial mengandung anti vibrio harveyi adalah Sonneratia alba, S caseolaris, S. lanceolata, Bruguiera gymnorrhiza, dan Rhizophora mucronata,” jelas Muliani.
Dari 103 sampel yang terdeteksi mengandung Vibrio, 22 diantaranya berasal dari Kabupaten Maros, 38 dari Kabupaten Pangkep, 20 dari Kabupaten Luwu Timur, 6 dari Kabupaten Takalar, dan 17 dari Kabupaten Bone.
Pada 2014, penelitian dilanjutkan untuk melihat potensi ekstrak bakau setelah difraksinasi, serta toksisitasnya terhadap benih udang windu. Di 2015, penelitian dengan tahap metode pemberian ekstrak bakau yang lebih efektif dan efisien, yaitu dengan sistem perebusan tepung bakau dan mencampur hasil ektraksi methanol, serta fraksinasi ke dalam pakan udang. Langkah berikutnya adalah mengkaji perbedaan konsentrasi ekstrak bakau dalam pakan, baik untuk penanggulang penyakit bakteri maupun untuk WSSV di 2016.
“Terjadi peningkatan sistem imun udang secara signifikan pada penggunaan ekstrak bakau dalam pakan dibanding tidak menggunakan ekstrak bakau. Pencegahan WSSV menggunakan ekstrak bakau lebih efektif melalui penyuntikan dibanding pakan dan perendaman. Namun, metode ini sulit diaplikasikan di tambak dan hanya cocok diaplikasikan untuk induk udang,” lanjut Muliani.
Pada 2017, penelitianpun kemudian dilanjutkan dengan mengkaji sistem ekstraksi dengan perebusan daun bakau yang masih basah dan tidak lagi menggunakan hasil tepung daun bakau. Sebuah percobaan menggunakan metode ini telah dilakukan untuk budidaya udang windu. Melalui metode ini, diharapkan para petani dapat mengaplikasikan pada kegiatan budiaya.
“Hingga saat ini, penelitian difokuskan pada aplikasinya di tambak udang. Melalui penelitian ini, kami juga berharap kelestarian mangrove tetap terjaga dan mari kita galakkan kembali penanaman mangrove pada daerah-daerah yang tidak ditanami,” tegas Muliani.
Penyakit udang merupakan momok meresahkan bagi pembudidaya. Hal tersebut dapat meningkatkan kematian hingga 100% pada udang di dalam tambak hingga menyebabkan kerugian dalam jumlah besar dan White Spot Syndrome (WSS) serta penyakit karena bakteri vibrio menjadi yang paling mematikan diantaranya. Hal ini tentu akan menghalangi visi dan misi dari KKP untuk membudidayakan program wirausaha kelautan dan perikanan.
Udang yang terjangkit penyakit bintik putih, pada tahap awal akan menyerang lambung, insang, kutikula epidermis, dan jaringan ikat hepatopankreas dari udang. Setelah stadium penyakit pada udang semakin berat, akan muncul bintik-bintik putih berdiameter 0,5-2 mm pada lapisan dalam eksoskeleton dan epidermis yang menyebabkan udang berhenti makan dan berdampak kematian massal di tambak. (Damar Senoaji/AFN)
Sumber : KKPNews