|
Foto Ilustrasi : Aktivitas Nelayan di Pantai Sadeng |
Pemerintah Indonesia fokus mengembangkan riset kelautan untuk mendukung
pemetaan wilayah laut lebih mendalam. Salah satu target yang ingin dikejar,
adalah membangun teknologi kelautan yang hingga kini belum dimiliki Indonesia.
Langkah untuk mengejar target tersebut, adalah dengan fokus mengembangkan riset
kelautan di berbagai sektor.
Di antara yang terlibat dalam riset kelautan, adalah Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI). Lembaga riset Negara itu, kini mengejar momen
2035 sebagai tahun kebangkitan riset kelautan nasional. Untuk melangkah ke
sana, LIPI menggelar program foresight riset kelautan dan program demand driven research grant (DDRG). Kedua program tersebut, seperti dijelaskan Kepala Pusat Oseanografi
LIPI Dirhamsyah, mendapat dukungan penuh dari program Coral Reef Rehabilitation and
Management Program – Coral Triangle Initiative (COREMAP-CTI).
Agar visi nasional tersebut bisa berjalan, Dirhamsyah mengatakan, perlu
dilakukan pengembangan teknologi bidang kelautan dengan mengkajinya
melalui foresight riset dan teknologi kelautan Indonesia. Dengan cara tersebut,
potensi sumber daya laut Indonesia yang selama ini tersimpan dan belum terbaca
dengan baik, bisa diangkat ke permukaan.
Dirhamsyah menjelaskan, program riset digelar LIPI, karena sebagai
lembaga riset Negara, pihaknya melihat hingga saat ini teknologi bidang
kelautan Indonesia masih juga belum tersedia. Meskipun, sebenarnya sudah ada
perencanaan menjadikan Indonesia sebagai negara poros maritim di dunia.
Program riset akan berjalan dari 2020 hingga 2035 mendatang atau selama
15 tahun. Selama riset berjalan, pendanaan akan dilakukan DDRG yang mendukung
dan memberikan dana hibah penelitian dengan pendekatan manajemen riset
berdasarkan orientasi pemangku kepentingan. Dengan kata lain, menurut
Dirhamsyah, program DDRG adalah pendekatan riset yang secara khusus diarahkan
untuk menyelesaikan masalah (problem based). Oleh itu, DDRG hadir berdasarkan
pada permintaan atau kebutuhan terhadap suatu riset. Sementara, permintaan atau
kebutuhan riset didasarkan pada permasalahan yang sedang dihadapi.
Dengan menggunakan dasar orientasi tersebut, Dirhamsyah meyakini DDRG
bisa digunakan untuk mendanai riset yang diharapkan menghasilkan luaran-luaran
yang implementatif, siap pakai dan berdampak nyata. Untuk itu, program riset
akan menggunakan pendekatan dengan mengubah dari pola output based menjadi value
based outcome.
Dokumen Foresight
Dirhamsyah melanjutkan, untuk bisa membuat dokumen foresight, pihaknya harus melakukan pencarian dan refleksi dari isu-isu terkini
dan relevan, tantangan, dan riset strategis di masa depan. Semua itu, kata dia,
digali dari berbagai sumber, termasuk di dalamnya adalah acuan global di sektor
kelautan masa depan di negara maju, kerangka kebijakan nasional seperti Poros
Maritim Indonesia 2045, Rencana Induk Riset Nasional 2017-2045 dan sejumlah
dokumen riset lainnya.
Untuk menghasilkan dokumen foresight, Peneliti P2O LIPI Aan Johan Wahyudi
mengatakan, diperlukan waktu selama enam bulan dengan melibatkan para pakar
kelautan nasional yang jumlahnya lebih dari 50 orang. Tujuan dari pembuatan
dokumen adalah untuk memetakan isu dan tantangan di sektor kelautan nasional
dan internasional. Sebelum menggelar program foresight pada yang akan dilaksanakan mulai
2020 mendatang, LIPI sebenarnya sudah pernah merencanakan program serupa dan
dibuat pada 2008. Namun, menurut Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI
Zainal Arifin, rencana yang dibuat sembilan tahun lalu itu, dengan berbagai
alasan akhirnya tidak jadi dilaksanakan.
Zainal mengatakan, meski sebelumnya LIPI belum pernah menggelar foresight, namun program tersebut mendesak untuk digulirkan sekarang. Terutama,
karena riset kelautan saat ini sangat dibutuhkan untuk membangun peta
pengembangan teknologi kelautan. Menurut Zainal, pemilihan waktu riset yang
berjalan selama 15 tahun, karena didasarkan pada pertimbangan bahwa foresight adalah program jangka panjang. Denga kata lain, foresight dibuat dengan ideal tapi tetap memperhatikan kemampuan Indonesia.
Dengan adanya foresight yang berfokus pada isu kelautan, Zainal menyebut itu akan
mendukung program konsorsium riset samudera yang diinisiasi oleh Badan
Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas). Konsorsium sendiri, kata dia,
adalah program riset yang akan dilaksanakan oleh berbagai instansi lintas batas
di Indonesia dengan berfokus pada masing-masing bahasan.
Dana Riset
Berkaitan dengan pendanaan riset, Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah
Pitaloka menjelaskan, Indonesia adalah salah satu negara yang tertinggal dalam
pengembangan riset. Penyebab utamanya, karena pendanaan untuk program riset
hingga saat ini baru mencapai 0,25 persen dari produk domestik bruto (PDB)
nasional. Rieke mengatakan, hingga saat ini riset di Indonesia masih belum dinilai
sebagai program yang penting dan utama. Itu sebabnya, anggaran untuk riset juga
masih kecil dan tertinggal jauh dari negara lain. Menurut dia, sudah seharusnya
industri di Indonesia menjadikan riset sebagai patokan dalam membuat program.
Rieke menambahkan bahwa riset harus jadi yang utama, bukan lagi
berdasarkan asumsi. Setiap program harus bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah, harus sesuai kebutuhan dengan masyarakat. Jika itu sudah terjadi, maka
politik anggaran untuk riset akan menentukan kemana pembangunan akan diarahkan.
Kita sekarang ditantang untuk bisa menaikkan anggaran riset secara nasional.
Tantangan itu harus dijawab baik, karena Indonesia pada 1960 pernah
mendeklarasikan diri akan menjadi negara industri berbasis riset. Karenanya,
saat itu anggaran riset sudah mencapai 1,1 persen dari jumlah investasi saat
itu sebesar Rp 240 miliar.
Sumber : http://www.mongabay.co.id