Rantai pasok perikanan yang terganggu oleh penerapan PSBB dan penurunan
permintaan pasar akibat banyaknya pasar dan restoran yang terpaksa tutup menyebabkan
hasil perikanan tidak terserap, bahkan di beberapa daerah hasil perikanan hanya
dikubur begitu saja karena tidak laku sehingga harga di pasaran anjlok yang
pada akhirnya menyebabkan daya beli pelaku usaha perikanan mengalami penurunan.
Disisi lain harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan karena masyarakat membeli dalam
jumlah yang lebih banyak dari biasanya karena kekhawatiran akan kelangkaan
barang pokok di masa pandemi ini. Hal-hal tersebut adalah beberapa diantara
banyak dampak pandemi COVID-19 yang dirasakan oleh masyarakat perikanan. Hal
ini disampaikan oleh Dr. Ir. Sri Yanti JS, MPM, Direktur Kelautan dan Perikanan
Bappenas, selaku Narasumber dalam webinar “Membangun Kembali Industri dan
Masyarakat Perikanan Yang Lebih Tangguh Pasca Pandemi” yang diselenggarakan
oleh Bappenas pada 15 Mei 2020 lalu.
Menurutnya, pandemi COVID-19 ini adalah kesempatan untuk me-reset paradigma pembangunan perikanan
yang ada, mulai dari perijinan yang berdasar daya dukung lingkungan pada
masing-masing WPP maupun pengelolaan lingkungan hidup berbasis pada perikanan
yang berkelanjutan untuk meningkatkan ketahanan terhadap bencana dan perubahan
iklim serta penggunaan teknologi digital dalam perikanan, baik untuk membantu
distribusi produksi maupun meningkatkan logistik perikanan secara umum guna
memperkuat ketahanan ekonomi perikanan di masa yang akan datang. 
Hal senada juga disampaikan Arif Wijaya dari WRI Indonesia, bahwa
inovasi-inovasi di bidang perikanan harus selalu mengedepankan ekosistem dan
sumberdaya pesisir yang sehat dan harus menyasar masyarakat yang paling rentan
yaitu nelayan kecil dan masyaraskat pembudidaya sebagai pilar ketangguhan
masyarakat perikanan. 
Penggunaan teknologi digital dalam dunia perikanan air tawar sudah mulai
diterapkan. Gibran Huzaifah, CEO eFishery
Technology dalam webinar yang sama menyampaikan bahwa saat ini di 24
provinsi di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi sudah diterapkan alat
pemberi pakan otomatis yang dilengkapi dengan sensor-sensor yang selalu terhubung
dengan smartphone melalui suatu
aplikasi khusus. Dengan aplikasi ini pembudidaya dapat memonitor jumlah
kematian ikan, jumlah dan jenis pakan yang diberikan tanpa harus turun langsung
ke kolam. 
Sementara dari sisi perlindungan bagi nelayan, Kurnia Yuniakhir dari
PT. Asuransi Jasa Indonesia menyampaikan bahwa berdasarkan surat No
4120/PL.420/d5/IX/2016 tanggal 15 September 2016, KKP telah menunjuk PT.
Asuransi Jasa Indonesia (Persero) sebagai pelaksana asuransi bagi nelayan. Program
ini ditargetkan bagi 600.000 nelayan kecil dengan jumlah premi pada tahun 2019
sebesar Rp. 140.000,- yang sepenuhnya ditanggung olah negara.
|  | 
| Jaminan pertanggungan asuransi nelayan tahun 2019 
 | 
Selain untuk nelayan, pembudidaya skala kecil juga bisa mendaftarkan
asuransi perikanan untuk memberikan perlindungan terhadap resiko-resiko budidaya
seperti penyakit ataupun bencana alam yang dapat menyebabkan terjaninya
kegagalan panen.  
|  | 
| Skema Asuransi Perikanan untuk Pembudidaya Ikan Kecil 
 | 
Proses recovery sektor kelautan dan
perikanan dapat dilakukan dalam jangka pendek maupun jangka menengah dan
panjang. Dalam proses recovery jangka pendek yang harus dilakukan antara lain
adalah recovery stakeholder yang terdampak langsung dengan membatasi kerusakan/kerugian
yang terjadi melalui BLT, relaksasi kredit nelayan, aspek keamanan diri
(kesehatan) pelaku perikanan dan memberikan stimulus pemulihan di sektor perikanan.
Dalam proses recovery jangka menengah dan panjang yang harus dilakukan adalah
meningkatkan daya tahan supply chain
exsisting dan membuat supply chain
baru, memperbaiki praktek penangkapan, membuat skema baru ketenagakerjaan
sektor perikanan serta menciptakan metode pemasaran non-tradisional berbasis
teknologi informasi seperti penggunaan e-market.
Pada akhirnya, recovery sektor kelautan
dan perikanan pasca pandemi harus dilakukan dengan pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi, melibatkan semua
pihak termasuk kementerian lain yang terencana secara harmonis, efisien, rasional dan cepat sehingga dampak intervensi harus bisa dilihat dalam jangka waktu pendek dan
manfaat dapat secara cepat dirasakan oleh stakeholder perikanan. Selain itu, pelaksanaannya harus inklusif, partisipatif dan transparan untuk menghindari
penyalahgunaan dan harus terbuka bagi siapa saja untuk melakukan monitoring. Demikian
yang disampaikan oleh Dr. Ir. Arifin Rudiyanto, M.Sc., Deputi Bidang Kemaritiman
dan Sumber Daya Alam Bappenas sebagai keynote
speaker dalam webinar ini.
Sumber : Webinar dengan tema "Membangun Kembali Industri dan Masyarakat Perikanan Yang Lebih Tangguh Pasca Pandemi"