EKONOMI BIRU

Arah Kebijakan Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan 2021 - 2024 Berbasis EKONOMI BIRU

ZI WBK? Yes, We CAN

LRMPHP siap meneruskan pembangunan Zona Integritas menuju satuan kerja berpredikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) yang telah dimulai sejak tahun 2021. ZI WBK? Yes, We CAN.

LRMPHP ber-ZONA INTEGRITAS

Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan siap menerapkan Zona Integritas menuju satuan kerja berpredikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) 2021.

Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan

LRMPHP sebagai UPT Badan Riset dan SDM KP melaksanakan riset mekanisasi pengolahan hasil perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 81/2020

Tugas Pokok dan Fungsi

Melakukan tugas penelitian dan pengembangan strategis bidang mekanisasi proses hasil perikanan di bidang uji coba dan peningkatan skala teknologi pengolahan, serta rancang bangun alat dan mesin untuk peningkatan efisiensi penanganan dan pengolahan hasil perikanan

Produk Hasil Rancang Bangun LRMPHP

Lebih dari 30 peralatan hasil rancang bangun LRMPHP telah dihasilkan selama kurun waktu 2012-2021

Kerjasama Riset

Bahu membahu untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan dengan berlandaskan Ekonomi Biru

Sumber Daya Manusia

LRMPHP saat ini didukung oleh Sumber Daya Manusia sebanyak 20 orang dengan latar belakang sains dan engineering.

Kanal Pengelolaan Informasi LRMPHP

Diagram pengelolaan kanal informasi LRMPHP

Tampilkan postingan dengan label Publikasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Publikasi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 27 Desember 2019

PENGGUNAAN AIR TAWAR DAN AIR GARAM UNTUK PENYIMPANAN DINGIN IKAN DI KAPAL


Salah satu perbaikan untuk menjaga mutu ikan atas kapal adalah sistem chilling storage menggunakan media pendinginan air atau air laut pada palkah dengan suhu sekitar 0°C, banyak lebih dikenal dengan refrigerated sea water (RSW). Beberapa rancangan sistem pendingin untuk aplikasi penyimpanan ikan di atas kapal kecil (10-15 GT) diantaranya dilaporkan oleh Widianto tahun 2016 yang dimuat dalam Prosiding Seminar Nasional Hasil Litbang Produk dan BIoteknologi Kelautan dan Perikanan 2016. Rancangan tersebut menjelaskan bahwa secara teknis aplikasi sistem pendingin dapat diterapkan pada kapal kecil sebagai alternatif penganti es batu. Rancangan berupa rancangan termal mini chilling storage dengan sistem RSW menggunakan sistem kompresi uap. Sistem kompresi uap yang merupakan siklus aliran refrigeran terdiri dari komponen utama evaporator, kompresor, kondensor, dan katup ekspansi. Evaporator berfungsi untuk menyerap panas air laut sehingga menjadi dingin, terjadi penyerapan panas oleh refrigeran . Media pendingin yang digunakan pada palkah penyimpanan ikan hasil tangkapan adalah air dan air laut disesuaikan dengan jenis ikan tangkapan.

Serangkaian pengujian chilling storage telah dilakukan di Loka Riset Mekanisai Pengolahan Hasil Perikanan dengan menggunakan air tawar dan air laut di dalam palka. Bahan dan peralatan yang digunakan adalah  air tawar dan air garam 3,5% sejumlah masing-masing sekitar 930 kg dan rangkaian simulasi sistem cooling unit  yang telah dibuat oleh Widianto tahun 2016. Rangkaian peralatan uji ditunjukkan pada Gambar 1. Di dalam palkah yang memiliki volume 2,05 m3 didinginkan air sekitar 930 kg dan udara.


Gambar 1. Palka dan hasil simulasicooling unit  karya Widianto et al (2016)

Hasil pengujian menunjukkan bahwa suhu air palkah mencapai 0 sampai -1 0C selama 13,5 jam pada air tawar dan 9,5 jam pada air garam dengan kecepatan penurunan suhu masing-masing adalah 1,52oC/jam dan 3,0 oC/jam.


Gambar 2. Grafik penurunan suhu air selama pengujian

Perbedaan tersebut disebabkan antara lain oleh beban pendinginan air tawar dan air garam yang berbeda. Beban pendinginan/kecepatan pembuangan panas pada media air tawar dan air garam masing-masing adalah 2,14 kW dan 3,47 kW seperti pada Tabel 1. Beban udara di dalam palkah sangat kecil sehingga dapat dianggap tidak ada.

 Tabel 1. Kecepatan pembuangan panas media



Tampak dari tabel bahwa panas sensibel air media berbeda paling jauh. Faktor utama perbedaan kecepatan pembuangan panas adalah nilai panas spesifik (Cp) dan laju perpindahan panas. Cp air tawar adalah 4,2 kJ/kg.K, lebih tinggi bila dibandingkan air garam 3,5% sebesar 4,0 kJ/kg.K. Energi yang dibutuhkan untuk mendinginkan air tawar dari suhu ruang sampai suhu sekitar 0 ºC menjadi lebih besar sehingga membutuhkan waktu pendinginan yang lebih lama.Energi yang dibutuhkan untuk pendinginan air tawar dan air garam dengan massa 930 kg masing-masing adalah 3.906 kJ/°C dan 3.720 kJ/°C. Faktor penyebab lain adalah perbedaan laju perpindahan panas antara air tawar dan air garam dengan pendinginan yang dilakukan oleh pipa-pipa evaporator. Sifat-sifat propertis air tawar memberikan nilai perpindahan panas yang lebih rendah, sehingga  pendinginan lebih lambat bila dibandingkan dengan air garam.


Penulis : Ahmat Fauzi. Peneliti LRMPHP


Kamis, 26 Desember 2019

RANCANGANTERMAL EVAPORATOR TIPE SHELL AND TUBE UNTUK APLIKASI RSW



Metode pendinginan refrigerated seawater (RSW) adalah salah satu metode untuk mengurangi kemunduran mutu ikan selama transportasi dan penanganan ikan di atas kapal.Sistem RSW memiliki beberapa kelebihan seperti kerusakan fisik ikan yang relatif kecil serta suhu yang lebih stabil dan merata. Komponen RSWmeliputirefrigeran/freon, kompresor, kondensor, katupekspansi, evaporatordan sirkulasi airdinginRSWpada palka. Komponenyang berfungsi untuk pendinginan air RSW adalah evaporator. Perancangan evaporator yang tepat di kapal diperlukan sehingga efisien serta mudah dalam pemasangan dan penggunaan/perawatan. Evaporator merupakan komponen penting mesin pendingin yang berfungsi untuk mendinginkan beban pendinginan dan terjadi evaporasi refrigeran. Pada perencanaan evaporator ini digunakan evaporator untuk pendinginan air laut yang kemudian digunakan untuk mendinginkan beban pendinginan. Proses evaporasi refrigeran terjadi di dalam evaporator dengan adanya penyerapan kalor dari pendinginan air laut. Refrigeran yang berfase cair mengalami evaporasi dan berubah menjadi fase gas pada kondisi temperatur konstan, tetapi terjadi pula proses superheating.

Dalam pemilihan jenis evaporator, faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam perancangan evaporator adalah laju perpindahan panas permukaan evaporator, metode penyuplaian refrigeran cair ke evaporator, kebocoran refrigeran, ukuran dan berat yang disesuaikan dengan ruang/ukuran mesin,efek pengotoran dan korosi pipa evaporator,biaya dan keamanandan perawatan evaporator.Rancangan evaporator untuk aplikasi RSW yang sudah ada yaitu evaporator tipe bare tube dan  tipe shell&tube.Evaporator tipebare tubeadalah evaporator berbentukpipa polosyang dipasang pada sekelilingdinding palka. Tipebanyak digunakan karena mudah dalam pemasangan,dapat mendinginkan air dan udara dalam palka namun pipa mendapatkan tekanan dari beban ikan ikan sehingga ada potensi bocor.Tipeshell and tubeberupatabung(shell) yang di dalamnya adapipa,airRSW di dalam shelldidinginkan oleh freon di dalam pipa.Komponen evaporator shell and tube terdiri dari komponen utama pipa di dalam, shell, tube sheet/penempat pipa, baffle/sekat, partisi aliran pipa, sisi masuk dan sisi keluar fluida, head/penutup depan dan belakang, serta support/komponen pendukung. Evaporator tipe shell and tubedigunakan dengan pertimbangan sebagai berikut :

a.   Luas permukaan yang dibutuhkan kecil.
b.   Penempatan evaporator horizontal terhadap kapal.
c.   Koefisien perpindahan panasnya besar.
d.   Dilihat dari konstruksinya lebih sederhana, sehingga perawatan cukup mudah dan murah, dapat juga dilakukan secara kimiawi.

Salah satu perancangan termal evaporatorshell and tubeantara lain disampaikan olehFauzi tahun 2017yang dimuat dalamProsidingSemnaskan UGM Tahun 2017, terdiri dari beberapa tahapan yaitu menentukan konsep desain RSW, menentukan/menghitung beban pendinginan, melakukan analisis siklus pendinginan, dan melakukan perancangan termal evaporator. Beban awal pendinginan RSW pada kapal 10-15 GT dengan kapasitas ikan sampai 1,3 ton adalah sebesar 4,07 kW berdasarkan penelitian Widianto et al (2016) ditambahdenganbeban sirkulasi pompa air laut. Fluida yang didinginkan adalah air laut (salinitas 3,5%). Perancangan termal evaporator menggunakan metode Kern. Rancangan  konsep sistem RSW dengan siklus refrigerasi kompresi uap sepeti  pada Gambar 1.
 
Gambar 1. Skema konsep aplikasi RSW

Sistem kompresi uap mendinginkan air laut yang ditargetkan sampai suhu -1 ºC, selanjutnya air laut dingin disirkulasikan untuk mendinginkan ikan di dalam palkah. Sistem kompresi uap yang merupakan siklus aliran refrigeran terdiri dari komponen utama evaporator, kompresor, kondensor, dan katup ekspansi (Arora, 2006). Evaporator berfungsi untuk menyerap panas air laut sehingga menjadi dingin, terjadi penyerapan panas oleh refrigeran . Kompresor untuk menaikkan tekanan refrigeran pada tekanan yang ditentukan. Kondensor untuk membuang panas sampai suhu yang ditentukan. Sedangkan katup ekspansi berfungsi untuk menurunkan tekanan. Dengan turunnya tekanan, maka suhu refrigeran juga turun sesuai yang ditargetkan. Refrigeran (fluida pendingin) yang dinilai cocok untuk aplikasi sistem refrigerasi diatas kapal adalah refrigeran - 22(R-22). R-22 paling tepat digunakan karena memiliki titik uap yang rendah -40,8 0C, kalor laten lebih tinggi, murah dan mudah didapat, tidak beracun, mudah terdeteksi jika mengalami kebocoran, aman digunakan serta tidak mudah terbakar.

Hasil rancangan evaporator yang dihasilkan berupa shell&tube 4 pass dengan luas permukaan perpindahan panas 1,015 m2, diameter shell 150 mm dengan panjang 850 mm, serta pipa diameter 15,875 mm sejumlah 24 buah berbahan tembagadigambarkanseperti pada Gambar 2 dan 3.  Rancangan ini kompak dan fleksibel seingga dapat dipasang dengan baik pada kapal 10-15 GT. Selain itu pembersihan bagian dalam pipa dan shell juga mudah. Pemasangan evaporator yang dapat diposisikan horizontal juga lebih stabil di atas kapal. Rancangan evaporator shell and tube ini dapat menjadi salah satu alternatif yang dapat dipakai sebagai aplikasi RSW di atas kapal 10-15 GT. Bila dibandingkan dengan rancangan yang sudah ada yaitu jenis bare tube/pipa polos yang dipasang melingkari palka maka jenis shell and tube memiliki beberapa kelebihan antara lain lebih kompak, potensi kerusakan/kebocoran pipa lebih kecil karena tidak terkena beban ikan, ruangan palka lebih besar dan perawatan lebih mudah.


 Penulis : Ahmat Fauzi, Peneliti LRMPHP




Jumat, 20 Desember 2019

Perubahan Citra Mata Ikan Tuna Selama Penyimpanan Suhu Ruang

Ikan menunjukkan beberapa perubahan fisik yang jelas selama proses penurunan kesegaran seperti warna, tekstur, bau, kulit, sisik, mata, insang dan perut. Perubahan tersebut dapat digunakan untuk menentukan kesegaran ikan secara tunggal. Warna adalah salah satu atribut kualitas ikan yang paling penting karena hubungannya dengan kesegaran produk dan memiliki efek langsung pada persepsi konsumen. Warna mata ikan berubah dari bersih dan cerah menjadi berlumpur dan menguning setelah ikan menjadi busuk ketika disimpan secara alami. Hal ini menunjukkan bahwa warna mata ikan dapat digunakan sebagai parameter dalam menentukan kesegaran ikan.

Analisis citra merupakan alat yang digunakan untuk mengevaluasi data berupa gambar dan menganalisis perubahan warnanya menggunakan perangkat lunak sehingga dapat digunakan untuk menentukan kesegaran ikan. Analisis citra terdiri dari tiga langkah utama yaitu pengolahan level dasar (akuisisi citra dan proses awal), pengolahan level menengah (segmentasi dan pengukuran objek), dan pengolahan citra lanjutan. Dengan menerapkan analisa citra di bidang pengolahan hasil perikanan maka akan mendapatkan sebuah metode pemeriksaan kualitas ikan yang tidak merusak ikan dan tidak berbahaya bagi penguji dengan waktu yang relatif cepat.

Pengolahan citra mata ikan menggunakan software matlab R.2017a. Tahapan pengolahan citra meliputi pengambilan citra mata ikan, segmentasi ROI (region of interest), konversi citra RGB menjadi grayscale, dan ekstraksi fitur. Ekstraksi fitur yang digunakan yaitu gray-level co-occurrence matrix (GLCM). Pengujian dilakukan selama 20 jam dengan pengambilan citra mata setiap 2 jam pada suhu ruang. Hasil penelitian menunjukkan nilai parameter energy (0,964) dan homogenity (0,902) memiliki hubungan korelasi terhadap lama waktu pengujian sedangkan nilai parameter contrast (-0,554) dan correlation (-0,395) tidak memiliki hubungan korelasi terhadap lama waktu pengujian. Dari hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa parameter citra mata ikan yang meliputi energy dan homogenity memiliki hubungan yang signifikan dengan waktu penyimpanan ikan tuna pada suhu ruang sehingga dapat digunakan untuk menentukan kualitas ikan.


Hasil pengolahan citra mata ikan tuna
Penulis : Twi Novianto, Peneliti LRMPHP

Pengaplikasi Deret Sensor Untuk Pendeteksian Kadar Formalin


Ikan merupakan sumber bahan pangan yang bermutu tinggi, terutama karena banyak mengandung protein yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Namun demikian ikan merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan atau kemunduran mutu (perishable food) terutama pada daerah tropis. Untuk mencegah kemunduran mutu pada ikan pada umumnya menggunakan suhu rendah. Bahan yang sering digunakan untuk menjaga suhu tetap rendah adalah es tetapi karena daya tahan es yang terbatas dan ada penambahan biaya untuk pembelian es maka sering diabaikan oleh nelayan. Oleh karena itu sering digunakan bahan kimia untuk pengawet. Salah satu bahan kimia yang digunakan adalah formalin  Penggunaan formalin dimaksudkan untuk memperpanjang umur simpan, karena formalin adalah senyawa anti mikroba yang efektif dalam membunuh bakteri. Menurut WHO formaldehid (senyawa yang terdapat pada formalin) terdapat dalam produk makanan karena kegunaannya sebagai zat bakteoristik yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroba dalam produk pangan sehingga umur simpan produk tersebut meningkat.

Formalin merupakan bahan kimia berbahaya yang dilarang digunakan untuk bahan tambahan makanan menurut peraturan Menteri Kesehatan No. 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan. Formalin sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Kandungan formalin yang tinggi di dalam tubuh dapat menyebabkan iritasi lambung, alergi, bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker) dan bersifat mutagen (menyebabkan perubahan fungsi sel/jaringan) serta orang yang mengonsumsinya akan muntah, diare bercampur darah dan kematian yang disebabkan adanya kegagalan peredaran darah.

Kandungan formalin pada bahan makanan sulit untuk diidentifikasi menggunakan panca indera manusia karena sifatnya yang sangat berbahaya. Berdasarkan sifat fisik formalin yang memiliki bau yang tajam maka dapat digunakan teknologi sensor gas untuk mendeteksi adanya kandungan formalin pada bahan makanan. Sensor gas yang dipilih adalah sensor MQ 3 dan MQ 137. Sensor diuji pada larutan formalin dengan kosentrasi 0.025%, 0.05%, 0.075% dan 0.1%. Dengan cara yang sama dilakukan pengujian pada daging fillet ikan tuna dengan berat 50 gr yang telah direndam selama 10 menit. Hasil pengujian sensor MQ 3 pada daging ikan tuna menunjukkan adanya korelasi dengan nilai koefisien korelasi 0.99 sedangkan pada sensor MQ 137 menunjukkan adanya korelasi dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.98. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa sensor MQ 3 dan MQ 137 dapat digunakan untuk mendeteksi kadar formalin pada daging ikan tuna.


Diagram modul sensor gas

Penulis : Toni Dwi Novianto, Peneliti LRMPHP

Rabu, 11 Desember 2019

Produksi Tepung Ikan di Gunungkidul, Wonogiri dan Pacitan

Tepung ikan merupakan salah satu bentuk pemanfaatan hasil samping (limbah) pengolahan utama ikan maupun dari hasil tangkapan sampingan. Tepung ikan merupakan bahan baku utama pembuatan pakan ternak, baik pakan ternak ruminansia, ternak unggas maupun pelet ikan. Hal ini karena tepung ikan masih menjadi komponen utama sumber protein dalam formulasi pakan ternak. 

Permasalahan yang sering dihadapi adalah kualitas tepung ikan yang dihasilkan oleh pengolah skala kecil tidak seragam dan masih di bawah kualitas tepung impor. Hal ini karena pengolahan tepung ikan di dalam negeri umumnya dilakukan oleh industri rumah tangga dengan peralatan yang digunakan masih sangat sederhana. Selain itu sumber bahan baku tepung ikan yang digunakan selama ini umumnya berupa jenis-jenis ikan yang kurang ekonomis (ikan rucah), hasil tangkapan samping (HTS) dan sisa-sisa olahan ikan yang berasal dari limbah pengolahan ikan kaleng. Secara umum, kualitas tepung ikan yang diproduksi harus memenuhi Standar Nasional Indonesia, yaitu SNI Nomor 1715:2013. 

Salah satu penghasil tepung ikan skala terbatas berada di kabupaten Gunungkidul, Wonogiri dan Pacitan. Daerah tersebut menghasilkan tepung ikan dengan mutu yang beragam. Tepung ikan diproduksi oleh UKM dengan metode dan peralatan yang sederhana. Pengolahan tepung ikan di Gunungkidul dan Pacitan menggunakan metode perebusan dan juga melalui proses pengepresan, sedangkan pada pengolah di Wonogiri menggunakan metode pengukusan dan tidak melalui proses pengepresan. Metode dan bahan baku yang berbeda ini akan menyebabkan kualitas tepung ikan yang dihasilkan juga bervariasi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Saleh, et al. (1986) dan Indriyanti, et al. (1990) yaitu pengolahan tepung ikan di dalam negeri umumnya dilakukan oleh industri rumah tangga dan industri pabrik yang keduanya memiliki perbedaan baik dalam teknik pengolahannya maupun sumber bahan baku yang digunakan sehingga menghasilkan kualitas tepung ikan yang bervariasi. 

Produk tepung ikan di kabupaten Gunungkidul dibedakan menjadi 3 jenis produk tepung ikan yaitu tepung mutu A, B, dan C yang dibedakan berdasarkan kualitas bahan baku awal. Produk tepung ikan di kabupaten Wonogiri hanya satu jenis tepung yaitu tepung ikan nila. Produk tepung ikan di kabupaten Pacitan dibedakan menjadi 3 jenis produk yaitu tepung daging tuna, tepung tulang tuna, tepung kepala tuna. Hasil uji laboratorium diperoleh komposisi kimia tepung ikan Gunungkidul, Wonogiri dan Pacitan ditunjukkan pada tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia tepung ikan asal kabupaten Pacitan, Wonogiri dan Gunungkidul (%)
Keterangan:
*           Produk tepung ikan asal Pacitan
**          Produk tepung ikan asal Wonogiri
***        Produk tepung ikan asal Gunungkidul

Secara umum bahan baku dan metode yang digunakan oleh ketiga pengolah tepung ikan di kabupaten Gunungkidul, Pacitan dan Wonogiri bervariasi dan menyebabkan kualitas tepung ikan yang bervariasi. Sedangkan dilihat dari kualitasnya, mengacu pada standar SNI 2715:2013 dengan parameter uji kadar protein, kadar lemak, kadar abu dan kadar air, maka produk tepung ikan berbahan baku daging ikan di kabupaten Pacitan dengan metode perebusan yang memenuhi standar, sedangkan untuk produk tepung ikan lainnya tidak memenuhi standar.

Penulis : Wahyu Tri Handoyo, LRMPHP

Senin, 09 Desember 2019

Penambahan Sargassum sp. sebagai Binder pada Pembuatan Soil Conditioner dari Limbah Padat Ekstraksi Gracilaria sp.

Saat ini rumput laut merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Menurut Dahuri yang disampaikan dalam Samudra edisi 93 Januari 2011, dari keseluruhan produksi rumput laut di dunia, jenis yang langsung dapat dikonsumsi berjumlah sekitar 65%, jenis yang dijadikan sebagai bahan hidrokoloid berjumlah sekitar 15%, dan jenis yang dijadikan sebagai bahan pupuk berjumlah sekitar 20%.
Pengolahan agar dari Gracilaria sp menghasilkan limbah padat yang selama ini belum dimanfaatkan dengan baik. Rumput laut dan limbah olahannya dikenal sebagai bahan yang mempunyai kemampuan menyerap air yang tinggi, dapat mencapai 30 kali berat keringnya, kemudian dengan mengkombinasikannya dengan bahan lain yang mampu menyimpan air serta berperan sebagai binder seperti alginat, dapat diperoleh bahan yang sangat sesuai sebagai “soil conditioner” dengan kemampuan menyerap dan menahan air yang sangat baik.
Rumput laut kaya akan sumber poiisakarida sehingga dapat mempengaruhi agregasi (kesatuan) tanah baik secara langsung maupun tidak langsung setelah dekomposisi oleh mikroorganisme tanah.

Cara pembuatan soil conditioner yaitu dengan : (1) rumput laut Sargassum sp. ditambahkan dengan konsentrasi 20-30% dari total bahan lainnya, yaitu dalam bentuk hasil rebusan dalam air (rumput laut : air = 1 : 30) kemudian diblender menjadi bubur kental, (2) campurkan semua bahan (bubur rumput laut Sargassum sp., limbah rumput laut Gracilaria sp., CaCl2) kemudian digiling dan dicetak dengan alat pencetak, (3) produk “soil conditioner” yang berbentuk pellet kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari sampai kadar airnya kurang dari 12%.

Penggunaan Sargassum sp. sebesar 20-30% sebagai binder menghasilkan kenampakan soil conditioner yang cukup baik seperti telihat pada Gambar 1.
Gambar 1, Kenampakan soil conditioner pada konsentrasi Sargassum sp. (a) 20%, (b) 30%

Penggunaan soil conditioner sebanyak 30% menunjukkan hasil yang cukup baik dalam membantu tanah mempertahankan kelembabannya dan mendukung pertumbuhan tanaman. Uji coba dalam menumbuhkan bibit caisim juga terlihat bahwa tanpa penambahan soil conditioner maka penyiraman benih harus dilakukan dua kali sehari agar kondisi tanah tetap lembab dan benih caisim dapat tumbuh. Sementara itu, dengan penambahan soil conditioner sebesar 10 – 30%, penyiraman dua hari sekali sudah cukup menyediakan kelembaban tanah bagi pertumbuhan benih caisim tersebut. Hasil uji coba terhadap tanaman tersebut disajikan pada Gambar 2.
 
Gambar 2. Benih Caisim yang ditumbuhkan pada media tanah berpasir dengan penambahan soil conditioner 10% dan 30%.
Penulis : Putri Wullandari, Peneliti LRMPHP 

Efektivitas Pemisahan Daging Ikan Lele Menggunakan Meat Bone Separator Komersial


Lele merupakan jenis ikan air tawar yang berasal dari Afrika. Jenis yang sudah dibudidayakan secara komersial di Indonesia yaitu lele dumbo (Clarias gariepinus) dan lele local (Clarias batrachus). Menurut Direktorat Produksi dan Usaha Budidaya dalam Buku Saku Budidaya Ikan Lele Sistem Bioflok Tahun 2017, budidaya lele mengalami perkembangan yang cukup pesat,  disebabkan oleh beberapa faktor yaitu budidaya lele dapat menggunakan lahan dan sumber air yang terbatas dengan padat tebar yang tinggi, teknologi budidaya relatif mudah dikuasai oleh masyarakat, memiliki pangsa pasar yang jelas, modal usaha yang dibutuhkan tidak terlalu besar, dan waktu usaha yang dibutuhkan tidak terlalu lama. Masyarakat cenderung mengkonsumsi ikan lele dalam bentuk segar, dengan mengolah lele menjadi fillet, daging lumat atau surimi diharapkan dapat meningkatkan nilai tambahnya.
Daging lumat lele diperoleh dengan memisahkan daging dengan tulang dan duri ikan lele. Salah satu peralatan yang dapat digunakan dalam proses pemisahan tersebut adalah meat bone separator (alat pemisah daging).  Secara umum alat pemisah daging ikan telah diproduksi dan beredar di pasaran. Selain itu mesin pemisah daging komersial memiliki kapasitas dan energi yang berbeda pula. Dalam penelitian, alat pemisah daging komersial yang digunakan berukuran 1525 mm x 980 mm x 1192 mm, dan spesifikasi mesin 3700 Watt (Gambar 1).

Gambar 1. Alat pemisah daging komersial

Dalam proses pengujian kinerja alat pemisah daging tersebut, lele diberi perlakuan pendahuluan terlebih dahulu dengan cara dibelah dua dalam bentuk butterfly dan bentuk sayat samping. Lele yang sudah dipreparasi selanjutnya dimasukkan ke dalam alat pemisah daging dengan cara memasukkan lele mulai dari bagian ekor, sedangkan untuk lele yang dibelah, arah daging menghadap ke bagian drum berpori. Posisi saat lele dimasukkan ke alat pemisah daging disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Posisi saat lele dimasukkan ke alat pemisah daging
Hasil uji kinerja alat pemisah daging komersial menunjukkan bahwa alat lebih efektif untuk pemisahkan daging ikan dalam bentuk  butterfly dibanding disayat. Rendemen daging lumat lele dengan perlakuan belah/ butterfly lebih besar (39%) dibandingkan rendemen daging lumat lele dengan perlakuan sayat (37,83%). Hal ini disebabkan bagian permukaan daging lele dan kulit sebagai pembungkus daging lele telah terbuka, sehingga proses pemasukan daging saat penekanan oleh silinder berpori dan conveyor belt menjadi lebih mudah dibandingkan lele yang disayat.

Selain itu, waktu pengolahan daging lumat lele yang diberi perlakuan belah/ butterfly lebih cepat dibandingkan waktu pengolahan daging lumat lele yang diberi perlakuan sayat samping untuk jumlah bahan baku yang sama. Dengan demikian kapasitas pengolahan daging lumat lele yang diberi perlakuan belah/ butterfly (90,3 kg/jam) lebih besar dibandingkan kapasitas pengolahan daging lumat lele yang diberi perlakuan sayat samping (55,1 kg/jam). Hal ini disebabkan karena ukuran ketebalan ikan pada perlakuan belah lebih tipis dibandingkan perlakuan sayat, sehingga lebih mudah masuk ke dalam alat pemisah daging.

Penulis : Putri Wullandari, Peneliti LRMPHP

Jumat, 06 Desember 2019

Teknologi Pendinginan Berbasis Energi Sinar Matahari

Saat ini banyak negara termasuk Indonesia menghadapi permasalahan sistem pendinginan. Sistem pendingin konvensional dengan freon terbukti menjadi salah satu penyebab pemanasan global. Oleh karena itu perlu dikembangkan teknologi untuk memanfaatkan solar energi sebagai sumber energi dalam sistem pendingin (Solar refrigerator). Dalam sistem ini freon akan digantikan bahan lain seperti Lithium chloride, Lithium bromide maupun air. 

Pemanfaatan sinar matahari sebagai sumber energi terbagi menjadi 2 metode yaitu pertama Photovoltaic System (PVC), kedua Solar Thermal System (STh). Pada PVC energi matahari dikonversi menjadi energi listrik kemudian dimanfaatkan untuk sistem refrigerasi pada umumnya. Teknologi ini sering disebut Photovoltaic Cooling System. Sedangkan pada STh sinar secara langsung memanaskan refrigerant melalui tabung kolektor sebagai pengganti energi listrik. Teknologi ini dikenal sebagai Solar Thermal Cooling System

Photovoltaic cooling (PVC) 
Sel PVC berbahan dasar solid-state semikonduktor yang mampu mengubah sinar matahari menjadi suatu energi. PVC ini output nya berupa listrik arus DC (direct current) sehingga tidak bisa langsung digunakan untuk peralatan dengan sumber listrik AC (alternating current). Oleh karena itu komponen utama PVC adalah modul photovoltaic, battery, sirkuit inverter dan unit pendingin kompresi uap. Skema PVC ditampilkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema system photovoltaic cooling
Komponen utama PVC antara lain a) PV modul : untuk menangkap sinar matahri kemudian merubahnya menjadi listrik DC. b) Battery : digunakan untuk menyimpan tegangan DC hasil dari PV modul. Terdapat mode charging saat siang hari, dan mode discharging saat malam atau cuaca mendung. Battery juga harus dilengkapi charge regulator untuk melindungi battery dari overcharging. c) Inverter : berfungsi untuk merubah arus listrik DC menjadi AC d) Pendingin : alat pendingin kompresi uap AC.

PVC dapat dioperasikan sebagai standalone, hybrid maupun grid system. Meskipun efesiensi PVC bisa ditingkatkan dengan penggunaan inverter, namun COP sistem ini masih rendah.

Solar thermal cooling (STh)
Banyak penelitian menyebutkan bahwa STh lebih unggul dibandingkan PVC, karena STh mampu mengkonversi sinar matahari lebih banyak. Energi sinar matahari yang diterima sistem, 65% akan dirubah menjadi energi panas dan hanya 35% dirubah menjadi energi listrik. Oleh karena itu STh lebih populer sebagai thermal solar collector karena mampu mengkonversi sinar matahari menjadi panas. STh terdiri dari 4 komponen utama yaitu rangkaian solar collector, tangki penyimpan panas, unit AC thermal dan heat exchanger. Solar collector menerima energi cahaya dari matahari dan menaikan suhu, hasilnya refrigerant dalam tabung kolektor menjadi panas akibat proses perpindahan
panas. Tangki penyimpan panas digunakan untuk menyimpan refrigerant panas dari tabung kolektor. Thermal AC unit mulai bekerja setelah menerima refrigerant panas dari tabung penyimpan panas dan selanjutnya refrigerant terus bergerak dalam sistem. Heat exchanger berfungsi transfer panas antara ruang panas dan dingin. Sistem STh bisa dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Sistem solar thermal cooling
Meskipun PVC dapat menyediakan energi listrik untuk pendinginan, namun STh lebih efisien. STh telah digunakan oleh industri dan rumah tangga diseluruh dunia. Sistem ini lebih aplikatif, di daerah terpencil atau pulau dimana pendingin konvensional tidak tersedia. Sistem ini juga lebih sesuai dari pada sistem refrigerasi konvensional karena bebas dari polusi refrigerant seperti CFC.

Penulis: Arif Rahman Hakim, Peneliti LRMPHP

Kamis, 05 Desember 2019

Submersible fish cage, KJA yang tenggelam

Ditengah imbas aturan larangan transshipment di tengah laut, marikultur tetap menjadi bisnis perikanan yang menggiurkan. Permintaan ekspor yang tinggi dan kebutuhan dalam negeri yang belum terpenuhi merangsang banyak korporasi untuk menginvetasikan dananya pada bisnis ini. Agar investasi yang dilakukan tidak mengalami kerugian, kesesuaian konstruksi KJA dengan karakteristik perairan mutlak diperhatikan. Konstruksi tersebut harus mampu menahan gelombang tinggi dan angin kencang yang biasa terjadi saat cuaca buruk.

Model konstruksi KJA yang saat ini trending adalah submersible fish cage yaitu KJA yang dapat terapung dan tenggelam. Pada cuaca normal, KJA akan terapung seperti biasa dan apabila kondisi cuaca memburuk KJA akan ditenggelamkan sehingga tidak terlalu terpengaruh oleh gelombang tinggi. Konstruksi utama submersible fish cage terdiri dari rangka yang terbuat pipa HDPE yang sekaligus berfungsi sebagai pelampung, jaring, pemberat yang dilengkapi dengan kantong udara, tali yang menghubungkan unit KJA dengan pemberat dan jangkar. Kantong udara digunakan untuk menaikturunkan pemberat. Unit KJA akan naik saat kantong udara dikembungkan dan akan turun ke bawah permukaan air saat kantong udara dikempiskan. Kantong udara dikembang-kempiskan melalui suatu saluran udara yang terhubung dengan lubang yang selalu berada dipermukaan air. Salah satu model KJA submersible ini telah dipublikasikan oleh Drach et al. pada V International Conference on Computational Methods in Marine Engineering di Spanyol. Cara kerja KJA tersebut diilustrasikan pada gambar dibawah ini.

Sumber gambar : https://www.researchgate.net/pulication/267759151

Penulis : Iwan Malhani, Peneliti LRMPHP

Pengolahan Pindang Tradisional di Indonesia

Pemindangan ikan merupakan salah satu teknik pengolahan dan pengawetan ikan dengan cara kombinasi perebusan/pemasakan dan penggaraman selama jangka waktu tertentu dalam suatu wadahJenis ikan yang biasa dipindang adalah kembung, tongkol, cakalang, bandeng, bawal, layang, layur, cucut, selar, tanjan, lemuru, kuwe, teri jengki dan teri nasi.

Salah satu sentra produksi ikan tongkol terdapat di Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Mumpuni dan Hasibuan (2018) dalam JPHPI 2018, Volume 21 Nomor 3 melaporkan bahwa UMKM pengolahan ikan pindang tongkol di Pelabuhan Ratu, Sukabumi belum menerapkan prinsip Good Manufacturing Practices (GMP) dengan baik. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa semua sampel yang diambil dari pengolah pindang tongkol daerah Pelabuhan Ratu, Sukabumi, mengandung mikroba dengan prevalensi TPC adalah 90%, kapang adalah 100% dan E. coli adalah 10%, sedangkan Salmonella 70%. Proses produksi dilakukan secara tradisional, yaitu : bahan baku disortir, dibersihkan, kemudian ditambahkan garam, selanjutnya dimasukkan ke dalam wadah dan direbus selama sekitar 2 jam. Larutan garam untuk perebusan dapat digunakan berulang-ulang, namun larutan perebus ini makin lama makin keruh, berwarna gelap, kotor, kental dan agak tengik. Jika larutan perebus yang demikian masih digunakan, ikan pindang yang dihasilkan bermutu rendah.

Untuk mengatasi hal tersebut, seharusnya larutan perebus diganti 2 kali sehari atau tergantung frekuensi penggunaannya. Penggunaan 3-5 kali perebusan masih memungkinkan asal dibersihkan dulu dan kejenuhan garamnya dipertahankanUpaya lainnya yang dapat dilakukan untuk mengurangi pencemaran mikroba antara lain dengan menggunaka air yang bersih, melakukan sanitasi terhadap ruangan dan peralatan yang digunakan, serta dengan memperhatikan kebersihan personilnya.

Handayani, et al. (2017) memaparkan dalam Pro Food (Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan) vol. 3 no. 1 bahwa pengolahan pindang tradisional juga dilakukan oleh nelayan di beberapa daerah di Indonesia. Nelayan di pesisir pantai Ampenan melakukan proses pemindangan tongkol ±10 kg selama 1-2,5 jam, sedangkan nelayan di Batu Putih, Sekotong, Lombok Barat melakukan pemindangan tongkol dalam waktu 1,5 jam untuk 5 kg ikan tongkol segar.

Pengolahan pindang tradisional lainnya banyak dijumpai di Waduk Malahayu, Brebes seperti dipublikasikan pada Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan (2012). Waduk Malahayu yang memiliki luas sekitar 944 hektar berada di Desa Malahayu, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Proses pengolahan pindang tradisional di Waduk Malahayu umumnya dilakukan dengan cara berikut ini :
Proses pengolahan pindang tradisional di Waduk Malahayu
Pengolah pindang tradisional di sekitar Waduk Malahayu menggunakan ikan mas/ nila/ gabus yang dibeli di Tempat Pelalangan Ikan (TPI) sederhana di Waduk Malahayu kemudian langsung diolah menjadi ikan pindang. Teknik pengolahan pindang di Waduk Malahayu termasuk ke dalam teknik pemindangan garam. Pemindangan garam adalah cara pemindangan dimana lapisan ikan yang telah digarami disusun berlapis-lapis di dalam wadah yang terbuat dari pelat logam (badeng) pendil/ paso tanah, dan direbus pada suhu 80°C dalam jangka waktu 4-6 jam. Wadah perebus langsung digunakan sebagai wadah untuk distribusi dan penjualanGaram yang digunakan yaitu garam krosok (garam curah), karena harganya lebih murah dibandingkan dengan garam produksi industri.

Ikan pindang dijual ke konsumen dengan dibungkus daun pisang dan dilapisi kertas minyak sehingga harus segera habis dikonsumsi dalam satu hari. Jika tidak segera dikonsumsi harus dipanaskan kembali untuk menjaga mutu keamanan pangannya. Perbaikan yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan kemasan plastik yang ditutup dengan sealer atau kemasan vakum untuk ikan pindang.

Penulis : Putri Wulandari, Peneliti LRMPHP

Case Hardening pada Proses Pengeringan Konveksi Produk Makanan


Pengeringan merupakan salah satu metode pengawetan produk makanan untuk memperpanjang usia penyimpanan. Pengeringan pada dasarnya merupakan proses perpindahan energi yang digunakan untuk menguapkan air yang berada dalam bahan sehingga mencapai kadar air tertentu. Pada proses pengeringan terjadi penurunan kadar air bahan sampai mencapai kadar air tertentu sehingga dapat memperlambat laju kerusakan produk akibat aktivitas biologi dan kimia.

Dalam Microwave Technology for Food Processing yang disampaikan oleh Orsat et al (2017), pengeringan konveksi merupakan metode pengeringan yang paling umum digunakan. Meskipun prinsip operasinya sederhana dan biaya konstruksi yang rendah, tetapi ada kriteria tertentu, seperti ketidakefisienan energi dan kualitas produk yang tidak diinginkan. Dalam pengeringan konveksi, udara kering digunakan untuk menghilangkan kadar air dari produk yang menciptakan gradien tekanan antara inti dan permukaan produk sehingga kadar air akan bergerak dari dalam ke permukaan.

Produk yang dikeringkan secara konveksi akan mengalami penyusutan karena berkurangnya kadar air pada produk. Menurut Gulati & Datta yang disampaikan dalam Journal of Food Engineering (2015), penyusutan bahan ini berperan penting dalam pengembangan struktur dan volume akhir dari produk kering. Selain itu proses pengeringan juga dapat menyebabkan case hardening terutama pada proses pengeringan dengan suhu yang tinggi.

Disampaikan oleh Orsat et al (2017) dalam Microwave Technology for Food Processing, fenomena case hardening terjadi jika pengeringan dilakukan pada suhu yang terlalu tinggi. Pemanasan yang terlalu cepat akan mengakibatkan bagian permukaan luar produk kering lebih cepat dan bagian dalam produk terlambat kering. Skema case hardening seperti disajikan pada gambar 1. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Wagner et al. (1995) dalam Purdue University Extension Services Report no RR 7/95 yang melaporkan bahwa ketika produk makanan diproses pada suhu tinggi selama pengeringan, makanan yang dimasak pada bagian luar akan mengalami case hardening yang dapat digambarkan sebagai semacam cangkang pelindung yang akan menyebabkan penyusutan lebih sedikit dan kepadatan rendah pada produk. Sedangkan informasi yang diperoleh dari Martynenko (2001) yang dilaporkan dalam Food Bioprocess Technology, bahwa kasus pengerasan dapat merupakan hasil dari pembentukan kerak dan / atau hilangnya sifat viskoelastik dari produk makanan yang dikeringkan pada suhu tinggi.

Gambar 1. Skema case hardening
Fenomena case hardening ini akan menyebabkan proses pengeringan tidak merata sehingga produk yang dikeringkan tidak kering dengan sempurna, terutama pada bagian dalam produk. Oleh karena itu perlu dilakukan pencegahan untuk mengurangi ataupun menghilangkan peristiwa case hardening. Salah satu cara pencegahan case hardening adalah menggunakan suhu yang lebih rendah dan mengendalikan laju pengeringan terutama pada tahap awal pengeringan.

Penulis : Wahyu Tri H., LRMPHP

Efisiensi Energi dan Industri Pengolahan Perikanan yang Berkelanjutan

Industri pengolahan ikan di Indonesia terus berkembang bahkan saat ini masuk 5 besar negara penyuplai produk perikanan dunia. Bahan baku produk olahan perikanan sebagian besar berasal dari perikanan laut / hasil tangkapan. Ikan-ikan ini kemudian diolah menjadi berbagai macam olahan (70%) dan hanya 30% yang dijual berupa produk segar. Industri perikanan (pengolahan produk) memerlukan bahan pendukung berupa energi dan suplai air bersih yang besar. Pemenuhan energi sejauh ini bertumpu pada bahan bakar minyak dari fosil (fuel) yang harganya terus naik karena ketersediaannya semakin berkurang, selain itu, penggunaan fuel dari fosil menyebabkan peningkatan CO2 di atmosfer sehingga menjadi salah satu penyebab perubahan iklim global. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah tepat agar industri perikanan tetap berkelanjutan dan ramah lingkungan. Salah satu langkah fundamental untuk mengurangi penggunaan fuel sebagai sumber energi adalah dengan efisiensi proses. Cara ini relative reliable karena tidak membutuhkan penambahan investasi modal yang signifikan (besar).

Tingkat konsumsi energi tergantung pada skala produksi, jenis produk dan level otomatisasi mesin yang digunakan. Energi diperlukan untuk operasi permesinan, produksi es, pemanasan, pendinginan dan pengeringan. Proses pengolahan ikan yang melibatkan pemanasan akan membutuhkan energi yang lebih intensif sedangkan proses tanpa pemanasan seperti produk filet ikan energi yang diperlukan lebih sedikit. Kebutuhan energi (secara umum) dan biaya pada beberapa jenis industri pengolahan ikan adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Kebutuhanenergiindustripengolahanikan
Jenispengolahan
Produksi (jutaton)
Konsumsi  (kWh/ton)
Total energiproduksi (GWh)
BiayaUSD0.15/kWh (USD million)
Pendinginan
50
28a)
1400
210
Filet
20
70
1400
210
Pembekuan
20
78b)
1560
234
Pengalengan
13
250
3250
487,5
Pengeringan
12
545
6540
981
Fishmeal / fish oil
21
400
8400
1260
Sumber : Food And Agricultural Organization, 2014

a) 60 kWh/ton es, rata-rata 1:3 (es:ikan), 40% untuk proses lanjutan at 20 kWh/ton. 
b)120 kWh/ton pembekuan tambah 20 kWh/ton penyimpanan, 50% pembekuan di kapal, 10% penyimpanan dikapal. 

Berdasarkan data tersebut, konsumsi energi merupakan area yang memerlukan biaya besar meski seringkali biaya untuk supali energi ini terabaikan. Beberapa langkah sederhana dalam efiesien energi tanpa menambahkan biaya modal investasi antara lain: 1) Implementasi program switch-off dan instal sensor untuk mati otomatis lampu penerangan dan peralatan yang tidak digunakan. 2) Memperbaiki insulasi pada perpipaan baik untuk proses panas maupun dingin. 3) Menggunakan peralatan secara efisein. 4) Melakukan pemeliharaan alat dan mesin secara rutin. 5) Menjaga / mempertahankan optimal pembakaran pada steam boiler. 6) Eliminasi kebocoran steam. 6)Memanfaatkan sisa energi panas atau dingin pada suatu mesin untuk input energi alat/mesin lainnya. 

Metode lain yang lebih advanced yaitu dengan memanfaatkan limbah yang dihasilkan sebagai sumber energi. Hal ini berhasil dilakukan salah satu industri perikanan di Thailand, Enerfish. Kebutuhan energinya sebesar 414 kWh per ton ikan bahan baku atau 1400 kWh per ton produk. Bersama dengan efisiensi unit pendingin dan pembekuan, kebutuhan energi dikurangi dengan mengkonversi limbah menjadi biofuel. Biofuel yang dihasilkan juga bisa menjadi produk penjualan. Rata-rata per hari industri ini menghasilkan 80 ton limbah, dari jumlah ini bisa dihasilkan 17 ton minyak ikan, 13 ton biodiesel yang setara dengan energi 126 MWh. Energi ini bisa digunakan untuk suplai daya unit pengolahan sebesar 57 MWh dan 77 MWh untuk energi panas.

Efisiensi energi melalui efektifitas penggunaan alat dan mesin serta pemanfaatan limbah yang dihasilkan diharapkan bisa diterapkan oleh industri perikanan di Indonesia. Selain untuk pengurangan biaya yang timbul juga untuk menjaga lingkungan tetap lestari.

Penulis : Arif Rahman Hakim, Peneliti Muda LRMPHP